Oleh: Rabian Syahbana, S.Pd.I
Aktivis Lingkungan Kawan Alam dan
Ketua Alumni Mahasiswa Pecinta Alam
STAIN SAS (AMPLAS)
Beberapa
hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk bersilaturahmi kembali ke salah
satu bukit tedekat dari Kota pangkalpinang. Bukit Tersebut adalah Bukit Mangkol
yang bisa ditempuh melalui Desa Terak. Silaturahmi yang ku lakukan kesana
sekaligus untuk memenuhi rasa penasaranku karna berita yang sempat diberitakan
di media massa tentang kerusakan Bukit Mangkol.
Letak
geografis Bukit Mangkol sebenarnya berada di dua desa, yaitu sebelah timur masuk wilayah Desa Terak
Kecamatan Simpang Katis dan Sebelah Barat masuk wilayah Desa Air Mesu Kecamatan
Pangkalan Baru. Untuk menuju kawasan Bukit Mangkol hanya memerlukan beberapa
menit saja dari pusat kota. Dengan ketinggian sekitar 395 meter di atas
permukaan air laut, Mangkol masih dikatagorikan bukit walau banyak warga
khususnya di Bangka yang memanggilnya Gunung Mangkol.
Setelah
melewati dusun Balai Terak mulai terlihat perubahan yang terjadi di Bukit
Mangkol, abrasi di pinggir-pinggir sungai benar-benar mengerikan. Jiwa ini
seakan-akan menangis, Bukit Mangkol yang ku kenal dulu berbeda jauh dengan apa
yang ku lihat sekarang. Air di bawah Bukit Mangkol tidaklah jernih lagi, banyak
lubang camui bertebaran di kaki bukit, jembatan putus dan diganti jembatan
sementara dari papan kayu, dan parahnya lagi maraknya pembukaan lahan untuk
berkebun di perbukitan Maras.
Aku
bingung, seingatku Bukit Mangkol merupakan hutan konservasi. Yang mana yang
namanya hutan konservasi berfungsi untuk menjaga keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Tapi ternyata kenyataannya berbeda, hutan konservasi Bukit
Mangkol seperti hutan tak bertuan, hutan yang boleh digunakan untuk apa saja
dan oleh siapa saja.
Padahal
di awal masuk kawasan Bukit Mangkol terpampang dengan jelas peringatan dari
pihak BKSDA yang menyatakan Bukit Mangkol merupakan lahan konservasi sehingga
dilarang melakukan pengrusakan dalam bentuk apapun. Tetapi kenyataannya
peringatan tersebut hanya seperti hiasan saja. Ancaman selama 10 tahun dan
denda 5 milyar rupiah hanya dianggap angka-angka tanpa makna.
Pepohonan di pinggiran bahkan di puncak
perbukitan Mangkol ditebang dan diganti dengan tanaman palawija seperti sahang.
Saya sempat bertanya dengan salah satu warga yang memanfaatkan Bukit Mangkol
menjadi kebun. Dia mengaku telah lama menanam sahang disana, dia menanam sahang
untuk investasi atau tabungan. Dia tahu dilarang memanfaatkan wilayah Bukit
Mangkol untuk menanam. Hak milik juga tidak bisa mereka miliki, karena Bukit
Mangkol merupakan lahan konservasi maka tidak bisa dibuat surat. Kalau mau
berkebun tinggal pilih wilayah mana yang mau dirambah, yang tentu saja harus
menebang pepohonan disana dahulu. Akunya sekarang tidak seperti dulu, yang mana
dulu masih rutin dilakukannya razia dari pihak berwenang. Malahan kebanyakan
dari pembuka lahan membuka kebun hanya untuk mengisi waktu luang dan malahan
ada yang sekedar iseng-iseng, mumpung lahannya gratis.
Apa yang terjadi di Bukit Mangkol
benar-benar mengerikan, saat saya melihat Bukit Mangkol melalui google map
banyak yang gundul, sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan Bukit Maras.
Bayangkan saja, kaki bukit dihajar penambang timah dan puncaknya di gunduli diganti
kebun sahang, sehingga sekarang membuat Bukit Mangkol menjadi lahan kritis
paling kritis. Bagaimana tidak, akibat penambangan dan perkebunan sahang
membuat banyak pepohonan disana yang ditebang. Bukit Mangkol menjadi lahan yang
rawan longsor, jalan menuju puncak terkena abrasi dan berlubang disana-sini.
Selama perjalanan ke puncak sedikitnya ditemukan 3 titik longsor di
lereng-lereng bukit. Bagaimana tidak longsor, walaupun sama-sama berdaun hijau,
saham tidak memiliki akar yang kuat sebagai penopang tanah.
Sepanjang perjalanan dari awal kaki
bukit sampai ke puncak setidaknya ada 72 pondok kebun. Itu yang terlihat, belum
pondok-pondok yang masuk ke wilayah dalam bukit Mangkol. Bayangkan satu saja orang
yang membuka lahan setengah hektar dan ditanam sahang, apa tidak hancur Bukit
Mangkol. Bayangkan saja Bukit Mangkol longsor besar-besaran dan intensitas
hujan tinggi. Maka banjir yang lebih parah akan datang tanpa ampun ke arah
Pangkalpinang.
Saat semuanya sudah terjadi dan
telah tampak kerusakan yang karna ulah kita para manusia, apakah kita hanya
bisa diam saja. Apakah kita akan terus diam melihat perlahan-lahan Bukit
Mangkol runtuh? Apakah kita hanya diam saja melihat hulu segala aliran air disana
hancur dan keruh? Apakah kita hanya bisa diam saja melihat tetangga kita yang
tinggal di Pangkalpinang kembali banjir? Apakah kita benar-benar sudah pasrah
terhadap apa yang terjadi pada Bukit Mangkol?
Memang semuanya sudah terjadi, tapi
tidak ada kata terlambat. Selama Bukit Mangkol masih berdiri tegak, maka kita
bisa menyelamatkannya dan membuatnya kembali kokoh seperti dahulu saat kita
mengenangnya. Ingat belum pernah ada sejarah sebuah bukit didirikan untuk
menjadi patok-patok bumi, karena manusia tidak akan mampu melakukannya. Tapi kalau
hanya menemukan bukit bahkan gunung rata dengan tanah, malahan ada yang menjadi
lubang banyak contohnya.
Jika kita peduli dan masih
mempunyai hati, mari kita mereklamasi lubang-lubang camoi dengan pepohonan
rindang. Mari kita hentikan pembukaan hutan Bukit Mangkol dan mengganti tanaman
sahang dengan tumbuhan berakar kuat. Mari kita saling bersinergi, baik dari
aparat pemerintahan, aparat desa, pecinta alam, bahkan masyarakat pada umumnya
untuk menghijaukan kembali Bukit Mangkol. Sehingga Bukit Mangkol yang
seharusnya hutan konservasi memang benar berfungsi seperti layaknya hutan
konservasi.
Kekayaan singkat dari yang di
dapatkan dari Bukit Mangkol dengan merusaknya sebenarnya memberi kerugian jangka
panjang, baik kepada manusia lain, bahkan kepada binatang disana. Kita harus
bisa menjadi manusia yang mencintai alam bukan memanfaatkan alam. Tanpa pohon
maka manusia takkan hidup, karna hanya pohon satu-satunya penghasil oksigen di
dunia ini. Jika oksigen tidak ada maka jangan haraplah ada manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar