Jumat, 04 September 2015

Opini: Toleransi Beragama, Perlukah?

Alhamdulillah.. setelah sekian lama akhirnya opiniku terbit juga di Bangka Pos edisi hari selasa tanggal 21 Juli 2015.
Berikut isi dari opini yang saya tulis:

Toleransi Beragama, Perlukah?
Oleh: Rabian Syahbana, S.Pd.I
Pemerhati Agama dan Sosial

Isu agama seakan tak ada habisnya, saat sebuah isu yang terdahulu mulai ‘terlupakan’ oleh waktu dan saat orang-orang mulai merasa damai saat bersama-sama, muncul lagi isu baru yang membuat rasa heran dan bingung kenapa terjadi lagi dan lagi. Baru-baru ini di Papua sana, di sebuah daerah Timur negara Indonesia konflik antar agama terjadi. Muslim di Tolikara yang hendak melakukan shalat Id Fitri diserang oleh puluhan orang. Aksi penyerangan tersebut bisa dikatakan nekat dikarenakan pelaksanaan shalad Id disana dijaga oleh pihak kepolisian. Penyerangan tersebut mengakibatkan kerusakan yang cukup parah, sebuah masjid, beberapa rumah dan kios warga disana dibakar oleh massa yang menyerang. Beberapa muslim disana juga mendapatkan luka bakar karena kejadian tersebut. Selain dari pihak muslim, korban juga ada yang dari pihak penyerang, satu dari mereka tewas dan beberapa terluka. Hal ini sungguh disesalkan dikarenakan jika pihak yang menyerang juga sampai terluka perlukah aksi penyerangan tersebut menjadi kebenaran atas tindakan mereka.

Menjadi minoritas di tempat mayoritas masih menjadi salah satu pemicu konflik antar agama. Disini kita bisa melihat bahwa yang ‘berkuasa’ dalam hal ini kaum mayoritas merasa mereka ‘berhak’ untuk membuat aturan baru yang mengusik kaum minoritas di tempatnya. Padahal kalau kita buka kembali ajaran tiap agama, tidak ditemukan bahwa ada agama yang mengharuskan menindas kaum lainnya. Dan kita juga tak bisa langsung menyimpulkan bahwa kekerasan yang ada disebabkan karena agama tertentu. Pelaku dari pemicu konflik pasti dilakukan oleh oknum-oknum yang ‘mengaku’ agama tertentu tapi nyatanya tak menjunjung agama yang ia sematkan. Ia dengan beraninya menggunakan agamanya sebagai tameng yang membenarkan semua perbuatan yang ia lakukan. Ia tak peduli dengan rasa impati dan ia takut dengan perkembangan suatu kaum yang agamanya berbeda dengannya.
Khusus dalam konteks budaya Indonesia yang sangat plural tentu membutuhkan pendekatan yang sedikit berbeda dengan negara-negara lain dalam hal bertoleransi. Masalah agama bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Kita semua tahu bahwa manusia dicitapkan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara manusia bukan digunakan sebagai alasan untuk saling melukai tetapi harus dipupuk untuk menjadi pemersatu. Perbedaan bukan pula alasan untuk melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. Ada alasan kenapa kita diciptakan dengan perbedaan, sebab jika kita diciptakan dengan suku dan bangsa yang sama maka dunia tidak akan menarik dan tak bisa berkembang menjadi lebih baik seperti sekarang.
Toleransi berasal dari kata “Tolerare” yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi secara harfiah pengertian dari toleransi beragama ialah dengan sabar membiarkan orang menjalankan agama-agama lain. Contoh toleransi beragama yang paling mudah adalah dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.
Toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi merupakan konsep yang agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama. Toleransi yang baik adalah toleransi yang mengandung arti mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tidak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikan agamanya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan orang lain dan lingkungan di sekitarnya untuk melestarikan dan menjaga eksistensinya di dunia. Sebab tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Seseorang yang sudah mantap agamanya dan meyakini agamanya sebagai panutannya takkan mudah terpancing dengan pengaruh agama lainnya, kecuali agama yang telah ia yakini diusik. Kita semua tahu tak ada paksaan untuk beragama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama yang lain adalah sikap a historis, yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Memang benar seseorang akan anarkis jika kepercayaannya yang ia yakini diganggu, hal itu wajar dikarenakan itu merupakan salah satu naluri manusia. Tapi jika tetap ada seseorang yang anarkis dan mengganggu orang lain dengan beralasan agamanya diganggu tanpa bukti yang jelas, maka bisa dikatakan orang tersebut bukan mengikuti nalurinya, melainkan mengikuti hawa nafsu. Dalam agama Islam, diajarkan dalam Q.S. Al-Kafirun yang terjemahannya berbunyi “.... aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. Disini dihimbaukan bahwa umat muslim tidak disuruh untuk ikut campur dalam urusan agama orang lain yang berbeda. Sebab kaum muslim takkan menyembah apa yang disembah oleh agama lain dan takkan memaksa orang yang berbeda keyakinan untuk memeluk agama Islam. Toleransi beragama berarti pula saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Tapi bukan pula berarti kita tidak diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain. Kita tetap diperbolehkan bekerja sama dalam aspek ekonomi, sosial, dan urusan duniawi lainnya.
Sudah selayaknya kita kembali berkaca kepada sejarah dimana dulu saat masa nabi Muhammad SAW mengajarkan toleransi antar umat beragama yang menyentuh ranah sosial. Kini toleransi ‘dipaksa’ untuk menyentuh ranah aqidah yaitu dengan meyakini agama-agama lain. Nabi Muhammad mengajarkan toleransi yang benar seperti yang diriwayatkan bahwa suatu ketika ada rombongan jenazah yahudi melewatinya, Rasulullah berdiri sebagai bentuk penghormatan. Ada salah seorang sahabat protes “wahai Rasulullah tapi dia itu orang yahudi?”. Rasulullah menjawab “bukankah dia manusia?”. Bahkan dilain kesempatan ketika Rasulullah ditanya tentang memberi bantuan kepada bukan muslim, “apakah kami boleh memberi bantuan kepada orang-orang Yahudi?” tanya sahabat kepada Rasulullah SAW “boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita”, jawab Rasulullah SAW sambil bangga atas inisiatif sahabatnya.
Kata “bukankah dia manusia?” merupakan kata yang penting, sebab kita bisa membangun konsep hubungan antara manusia untuk saling menghargai, menghormati, dan saling memahami antara satu sama lain. Di dunia ini tidak ada lagi Kami dan Mereka, yang ada kata Manusia. Di atas kata itu pula hilang segala sekat yang biasanya membatasi hubungan kita dengan orang-orang yang berbeda dari segi agama, budaya, sosial, dan sebagainya. Ungkapan “bukankah dia manusia”, lantas dapat menjawab segala persoalan yang ada, yang dapat mengembangkan sikap toleransi dalah hati kita. Agar kita secara adil dalam menghadapi manusia tanpa memandang siapa dia, termasuk juga agamanya. Saatnya kita berkaca kepada diri kita sendiri, apakah kita mau hidup rukun dengan orang yang berbeda agama dengan kita atau tidak?. Pilihannya ada pada diri kita, dan kita sebenarnya tahu persis apa yang sebenarnya diajarkan dan maunya agama kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar