Alhamdulillah.. setelah sekian lama akhirnya opiniku terbit juga di Bangka Pos edisi hari selasa tanggal 21 Juli 2015.
Berikut isi dari opini yang saya tulis:
Toleransi Beragama, Perlukah?
Oleh: Rabian
Syahbana, S.Pd.I
Pemerhati Agama
dan Sosial
Isu
agama seakan tak ada habisnya, saat sebuah isu yang terdahulu mulai
‘terlupakan’ oleh waktu dan saat orang-orang mulai merasa damai saat
bersama-sama, muncul lagi isu baru yang membuat rasa heran dan bingung kenapa
terjadi lagi dan lagi. Baru-baru ini di Papua sana, di sebuah daerah Timur
negara Indonesia konflik antar agama terjadi. Muslim di Tolikara yang hendak
melakukan shalat Id Fitri diserang oleh puluhan orang. Aksi penyerangan
tersebut bisa dikatakan nekat dikarenakan pelaksanaan shalad Id disana dijaga
oleh pihak kepolisian. Penyerangan tersebut mengakibatkan kerusakan yang cukup
parah, sebuah masjid, beberapa rumah dan kios warga disana dibakar oleh massa yang
menyerang. Beberapa muslim disana juga mendapatkan luka bakar karena kejadian
tersebut. Selain dari pihak muslim, korban juga ada yang dari pihak penyerang,
satu dari mereka tewas dan beberapa terluka. Hal ini sungguh disesalkan
dikarenakan jika pihak yang menyerang juga sampai terluka perlukah aksi
penyerangan tersebut menjadi kebenaran atas tindakan mereka.
Menjadi
minoritas di tempat mayoritas masih menjadi salah satu pemicu konflik antar
agama. Disini kita bisa melihat bahwa yang ‘berkuasa’ dalam hal ini kaum
mayoritas merasa mereka ‘berhak’ untuk membuat aturan baru yang mengusik kaum
minoritas di tempatnya. Padahal kalau kita buka kembali ajaran tiap agama,
tidak ditemukan bahwa ada agama yang mengharuskan menindas kaum lainnya. Dan
kita juga tak bisa langsung menyimpulkan bahwa kekerasan yang ada disebabkan
karena agama tertentu. Pelaku dari pemicu konflik pasti dilakukan oleh
oknum-oknum yang ‘mengaku’ agama tertentu tapi nyatanya tak menjunjung agama
yang ia sematkan. Ia dengan beraninya menggunakan agamanya sebagai tameng yang
membenarkan semua perbuatan yang ia lakukan. Ia tak peduli dengan rasa impati
dan ia takut dengan perkembangan suatu kaum yang agamanya berbeda dengannya.
Khusus
dalam konteks budaya Indonesia yang sangat plural tentu membutuhkan pendekatan
yang sedikit berbeda dengan negara-negara lain dalam hal bertoleransi. Masalah
agama bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Kita semua tahu bahwa manusia
dicitapkan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara
sesama. Perbedaan di antara manusia bukan digunakan sebagai alasan untuk saling
melukai tetapi harus dipupuk untuk menjadi pemersatu. Perbedaan bukan pula
alasan untuk melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. Ada alasan
kenapa kita diciptakan dengan perbedaan, sebab jika kita diciptakan dengan suku
dan bangsa yang sama maka dunia tidak akan menarik dan tak bisa berkembang
menjadi lebih baik seperti sekarang.
Toleransi
berasal dari kata “Tolerare” yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah
dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi secara harfiah pengertian dari toleransi
beragama ialah dengan sabar membiarkan orang menjalankan agama-agama lain.
Contoh toleransi beragama yang paling mudah adalah dimana penganut mayoritas
dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya
yang berbeda.
Toleransi
adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling
bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara
etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi merupakan konsep yang
agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama.
Toleransi yang baik adalah toleransi yang mengandung arti mu’amalah (interaksi
sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tidak boleh dilanggar.
Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri
dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikan agamanya masing-masing
tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Sebagai
makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan orang lain dan lingkungan di
sekitarnya untuk melestarikan dan menjaga eksistensinya di dunia. Sebab tidak
ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan
dari lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga
hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain
yang tidak seagama, atau lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Seseorang
yang sudah mantap agamanya dan meyakini agamanya sebagai panutannya takkan
mudah terpancing dengan pengaruh agama lainnya, kecuali agama yang telah ia
yakini diusik. Kita semua tahu tak ada paksaan untuk beragama. Karena pemaksaan
kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama yang lain adalah sikap a historis,
yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Memang
benar seseorang akan anarkis jika kepercayaannya yang ia yakini diganggu, hal
itu wajar dikarenakan itu merupakan salah satu naluri manusia. Tapi jika tetap
ada seseorang yang anarkis dan mengganggu orang lain dengan beralasan agamanya
diganggu tanpa bukti yang jelas, maka bisa dikatakan orang tersebut bukan
mengikuti nalurinya, melainkan mengikuti hawa nafsu. Dalam agama Islam,
diajarkan dalam Q.S. Al-Kafirun yang terjemahannya berbunyi “.... aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah,
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah, untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”. Disini dihimbaukan bahwa umat muslim tidak disuruh untuk
ikut campur dalam urusan agama orang lain yang berbeda. Sebab kaum muslim
takkan menyembah apa yang disembah oleh agama lain dan takkan memaksa orang
yang berbeda keyakinan untuk memeluk agama Islam. Toleransi beragama berarti
pula saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak
memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama
masing-masing. Tapi bukan pula berarti kita tidak diperbolehkan bekerja sama
dengan pemeluk agama lain. Kita tetap diperbolehkan bekerja sama dalam aspek
ekonomi, sosial, dan urusan duniawi lainnya.
Sudah
selayaknya kita kembali berkaca kepada sejarah dimana dulu saat masa nabi
Muhammad SAW mengajarkan toleransi antar umat beragama yang menyentuh ranah
sosial. Kini toleransi ‘dipaksa’ untuk menyentuh ranah aqidah yaitu dengan
meyakini agama-agama lain. Nabi Muhammad mengajarkan toleransi yang benar
seperti yang diriwayatkan bahwa suatu ketika ada rombongan jenazah yahudi
melewatinya, Rasulullah berdiri sebagai bentuk penghormatan. Ada salah seorang
sahabat protes “wahai Rasulullah tapi dia itu orang yahudi?”. Rasulullah
menjawab “bukankah dia manusia?”. Bahkan dilain kesempatan ketika Rasulullah
ditanya tentang memberi bantuan kepada bukan muslim, “apakah kami boleh memberi
bantuan kepada orang-orang Yahudi?” tanya sahabat kepada Rasulullah SAW “boleh,
sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita”, jawab
Rasulullah SAW sambil bangga atas inisiatif sahabatnya.
Kata
“bukankah dia manusia?” merupakan kata yang penting, sebab kita bisa membangun
konsep hubungan antara manusia untuk saling menghargai, menghormati, dan saling
memahami antara satu sama lain. Di dunia ini tidak ada lagi Kami dan Mereka,
yang ada kata Manusia. Di atas kata itu pula hilang segala sekat yang biasanya
membatasi hubungan kita dengan orang-orang yang berbeda dari segi agama,
budaya, sosial, dan sebagainya. Ungkapan “bukankah dia manusia”, lantas dapat
menjawab segala persoalan yang ada, yang dapat mengembangkan sikap toleransi
dalah hati kita. Agar kita secara adil dalam menghadapi manusia tanpa memandang
siapa dia, termasuk juga agamanya. Saatnya kita berkaca kepada diri kita
sendiri, apakah kita mau hidup rukun dengan orang yang berbeda agama dengan
kita atau tidak?. Pilihannya ada pada diri kita, dan kita sebenarnya tahu
persis apa yang sebenarnya diajarkan dan maunya agama kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar