Oleh: Dicki Chun
Tampak cerah wajah para makhluk penghuni kota ini memandang langit,
menyambut berkah Tuhan yang telah dinanti-nanti. Perlahan tapi pasti hujan
rintik menyapu penjuru alam dengan butiran lembutnya, menyibak debu-debu sisa
dari kemarau yang menyelimuti udara. Air membasuh dan membawa kembali warna kota yang
kusam, membawa kembali warna hijau dari dedaunan yang telah pudar.
Dari sebuah halte bus, dalam syukur aku tersenyum memandangi dan menikmati keadaan
ini. Yah, mungkin ungkapan ini klise bagimu teman, “hujan kerap selalu membawa
kenangan masa lalu”. Namun tidak bagiku. Hujan ini, ditempat ini, sama seperti waktu itu, ketika hujan membasuh
jiwa ku yang kusam dan terkulai lemah dalam keputusasaan. Yups...
tepatnya 3 tahun yang lalu, di kota ini, kenangan membawaku kembali kemasa itu
menembus waktu, kembali ketempat ini, dihalte ini. Masih tergambar jelas
bagaimana waktu itu, dibawah rintik hujan kuberjalan tertatih menyeret langkah
yang lunglai tak bertenaga.
Sekelebat terlintas bayang wajah anak dan istri yang menanti dirumah. Tak sanggup
ku menatap kedua wajah itu, apa yang akan ku katakan
nanti pada mereka. Terasa perih, membayangkan bagaimana perasaan mereka saat tahu
apa yang telah terjadi. Tanpa pekerjaan bagaimana aku akan menafkahi keluargaku..??. Perusahaan tempat dimana ku mengais rezeki tak
lagi memerlukan tenagaku. Sialnya, sebagai tenaga Kontrak, aku bersama ke 15
PHL (Pegawai Harian Lepas) lain tak mendapatkan tunjangan. Seiring dengan Hujan
yang semakin deras membasahi bumi, tangisku mengalir tanpa bisa kubendung,
benar kawan saat itu aku merasa rapuh
tak berdaya.
Kawan, beribu kehawatiran seolah melayang dan berputar mengerubuti ku.
Bagaimana nanti aku akan memberi mereka makan, membayar kontrakan rumah tempat
kami kini berteduh, kemana kami kan tinggal. Lalu bagaimana dengan masa depan
putri kecilku. Bagaimana nanti aku membiayai sekolahnya, jangankan untuk
membelikannya seragam baru seperti yang kujanjikan, untuk bisa bertahan hidup
saja aku bingung bagaimana.
Di halte bus ini aku bersandar, kutarik nafasku sedalam mungkin. Berharap
bisa mengusir segala sesak yang memenuhi rongga dadaku bersama dengan nafas
yang kuhembuskan. “Tuhan... apa yang harus kulakukan…???” doa’ ku
dalam rintihan. Dibawah hujan tampak beberapa orang berlari dan ikut berteduh.
Tak hanya mereka, beberapa pengendara motor juga bergabung, melindungi diri dari
guyuran hujan. Tak butuh waktu lama, halte ini telah penuh oleh berbagai macam
orang. Mulai dari seorang tukang pos, pegawai negri, 2 orang bocah pengamen dan
seorang pemuda penjual asongan. Tampak juga beberapa mahasiswa/mahasiswi yang memeluk
kotak sumbangan dengan gambar seorang bocah cilik dan beberapa tulisan disana.
Beberapa dari mereka mulai ngobrol sembari menunggu hujan reda. Walau mungkin
baru pertama kali bertemu, tampak pak pos dan para mahasiswa/mahasiswi itu
mulai akrab berbincang. Sementara si bocah pengamen mulai memainkan beberapa
lagu atas permintaan si pegawai negeri.
“Minumannya bang atau cemilan sambil nunggu hujan berhenti???” si pedagang
asongan menghampiriku sambil menawarkan jajanannya.
Dengan wajah getir yang kupaksakan tersenyum kutolak tawarannya.
“Kalau tisu mau bang, buat lap yang basah-basah???” tawarnya lagi yang juga
kutolak.
“Kalo rokok gimana, mau bang rokok??”
“Saya gak merokok” jawabku tegas. Ni orang mulai nyebelin deh, bisik batin
ku kesal.
Si pedagang asongan manggut-manggut
“Kalo abang gak ngerokok, permen aja deh bang, gimana….???”
Wah, ini orang kayaknya ngajak berantem, gak tau orang lagi stress apa??.
“Maaf dek, saya lagi gak pengen beli barang dagangan kamu..!!!” sahutku
ketus.
Kembali sipedagang asongan mangut-mangut. Kuhembuskan nafasku perlahan,
mencoba meredam emosi.
“Eemmm.... gimana kalau......”
Kutatap langsung jauh kedalam matanya. seperti kata pepatah, mata adalah
jendela hati. Kurasa tak perlu kujelaskan lagi padanya bagaimana kondisiku saat
ini. Seketika kalimatnya terhenti.
“sekali lagi nawarin dagangan... gue tonjok!!!” bisik ku.
Si pedagang mingkem menelan ludah.
“Sabar bang, sabaarrr...” bisiknya padaku. Kupejamkan mata dan bersandar pada dinding halte.
“Astaugfirullahhallaziim....” Sebisa mungkin ku atur nafas
mencoba menenangkan diri.
Si pedang asongan masih duduk disampingku, Ia tampak shock dan agak ketakutan.
Sesekali ia mencuri-curi pandang padaku. Kasihan juga, timbul sedikit rasa tak
enak hati dan bersalah padanya.
“Punya air mineral gak..???, beli deh satu…..” ujarku ku seraya menyerahkan 2
lembar uang 2 ribuan.
“Ada bang...”
sambil menyerahkan minuman, takut-takut ia menerima uang dariku.
“Terima kasih...”
ucapku sambil meraih botol air mineral darinya.
Beberapa menit telah berlalu dan hujan masih belum menampakkan tanda-tanda
akan reda. Dan parahnya, suasana dihalte itu kini berubah riuh,
menjelma seperti suasana di sebuah konser music. Saat ini para bocah pengamen
mulai tampak menggila, beraksi dengan gitar dan kecrekannya, belum lagi si
pedagang asongan yang memeriahkan suasana dengan gaya noraknya meniru seorang
MC, mengajak seluruh umat manusia yang berteduh dihalte ini untuk berjoget dan
dengan suka rela mereka menuruti keinginan si pedagang asongan tersebut. “yaaa tuhaaaaaannn....”
jerit batinku kesal. Emosi yang semula mulai mereda kembali bergejolak.
“Abang, heiii abaaang yang dipojok sanaaaa... ayoooo...
mari berjoget bersamaaa!!!”
Teriak si pedagang asongan padaku. Ku tatap si
pedagang asongan dengan penuh Kesal, namun dibalasnya dengan senyum tulus yang
menghiasi Wajah polos dan lugunya.
“Haaadeeehhhh...“ keluhku seraya menghembuskan nafas. Entah kenapa
tiba-tiba sekujur tubuhku terasa lemas. emosiku pudar begitu saja melihat
wajahnya. Emosi yang tadi menggebu tiba-tiba drop, kembali ku sandarkan
tubuhku.
“Ayooookkk bang... jangan murung aja disitu, kita joget bareng” ujarnya
semangat sambil tertawa.
Aku tersenyum dan menggeleng menolak ajakannya. Mereka menari, bernyanyi
dan tertawa diiringi lagu dalam derai gemuruh hujan. Seolah tak ada masalah,
tak ada lagi duka dan kesedihan pada diri mereka. Seolah segala beban dan
masalah terhapus begitu saja dari mereka. Mereka menjelma tampak seperti anak
kecil, tak bisa lagi ku bedakan.
Tanpa sadar, aku ikut tertawa menyaksikannya. Sejenak
beban itu seolah terangkat dan melupakan segala rasa takut serta kekhawatiranku. Walau tak ikut menari dan
bernyanyi aku hanyut dalam suasana bersama mereka.
Hujan telah berhenti, kami para penghuni halte bergegas kembali melanjutkan
perjalan masing-masing. Sebelum berpisah, si pedagang asongan menghampiriku dan
memberikan 3 buah buah permen bertulisan di bungkusnya. “TETAP SEMANGAT”,
“JANGAN MENYERAH”, “TERUS BERJUANG”.
“Tadi saya lupa ngasih kembaliannya bang, karna gak ada uang 500-an
permen saja ya”
Ujarnya sambil tersenyum sambil
berlalu. sementara Aku terdiam dan terpaku disini menatap permen-permen itu.
Aku tersenyum sendiri.
“Benar, tetap semangat, jangan menyerah dan terus berjuang” bisikku.
Langkahku terasa mantap, semangat yang lenyap seolah kembali. Yah, semua ini
memang harus ku hadapi, apa jadinya bila aku menyerah begitu saja ada keadaan.
Demi anak dan istri ku tercinta, aku tak boleh lemah, aku harus tetap
berjuang. Sesampai di rumah, segera kuhampiri istriku lalu kukecup keningnya.
Ia tampak kaget, tak biasanya aku begini pikirnya.
“Reva mana???” Tanyaku.
“Lagi main dirumah tetangga sama temen-temennya”
Sejenak kutarik nafas mempersiapkan diri. “Rin, sini
bentar deh, abang mau ngomong sesuatu”
Rini bergegas mendekat. Kuserahkan amplop gaji terakhir yang kuterima dari
kantor.
“Subhannallah...” ujarnya penuh syukur.
“Itu... gaji terakhir abang dari PT....
gunakan dengan bijak ya” ujarku tenang.
Rini mengernyitkan dahi. “Gaji terakhir???”
Dan dimulailah, inilah detik detik paling
menegangkan yang pernah kualami dalam hidup. Secara Perlahan,
kuceritakan semua yang terjadi di perusahaan. Rini tampak tenang menyimak,
meski sekilas tampak rasa khawatir dan gundah terbesit diwajahnya. Kau tahu
kawan, untuk hal ini harus kuakui, wanita memang jauh lebih kuat dari kita para
lelaki dalam menghadapi kenyataan. Ia tampak begitu tabah, tak ditunjukkan
sedikitpun rasa getir itu padaku. Dengan rapi ia menyembunyikannya, aku tahu,
pasti ia juga merasakan hal yang sama denganku saat pertama kali mendapat kabar
ini. Namun kawan, ia seolah tak terpengaruh, dengan begitu tenangnya ia
menghimbur dan menyemangati diri ku.
“Abang yang sabar ya... mungkin ini cobaan untuk kita. Jangan terlalu dipikirkan,
insyaAllah semua pasti ada jalan keluar” ujarnya lembut. Dibelainya rambutku
dengan mesra membuatku rasanya ingin menangis. Namun segera kutahan. Sebagai
kepala kepala keluarga aku tak boleh menunjukkan kelemahanku.
“Sekarang abang ganti baju dulu gih, aku siapin kopi ya…” Bergegas ku masuk
kekamar sambil menyeka mataku yang berkaca-kaca.
“Terima kasih Tuhan, kau berikan aku seorang istri yang tabah untuk
mendampingiku” bisik hati ku lirih.
Sore itu kami habiskan dengan bercengkrama diteras. Airin berlari
menghambur kepelukanku, setelah ia pulang bermain bersama temannya. Segera
istriku memberi komando padanya untuk mandi.
Aku tercenung memandang keluarga kecilku ini dalam haru. Malamnya, menjelang
tidur, Rini memelukku mesra begitu hangat mendamaikanku.
“Abang jangan terlalu banyak pikiran ya, insyaAllah dengan uang yang abang
kasih tadi dan simpanan yang kita punya, untuk 3 bulan kedepan kita masih bisa
bertahan insyaAllah.” Ujarnya.
Aku mengernyitkan dahi,
“Simpanan, emang kita punya
simpanan???”
Rini tersenyum dan melengos. “ Ya iya lah bang, abang lupa siapa istri
abang ini, yang cantik, baek hati dan rajin menabung???” candanya.
Dengan gemas ku peluk istriku. Tuhan begitu baik, ia memberikan
pendamping yang sangat tabah dan kuat, serta mampu menjaga suami dan anaknya
ini.
Benar kawan, tiga tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Aku bekerja
segala yang ku bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilku. Kulalui hari
dengan melamar pekerjaan di beberapa perusahaan sebagai mekanik mesin seperti
pekerjaanku di perusahaan yang lama. Sisanya kulalui dengan bekerja keras,
mulai dari tukang ojek, kuli bangunan, tukang parkir dan sebagainya demi memenuhi
kebutuhan keluarga kami. Sulit memang dizaman sekarang mencari pekerjaan. Jadi
yah, apa boleh buat.
Sedikit demi sedikit setelah bekerja sekian lama menabung, akhirnya aku
bisa mengumpulkan uang untuk memulai usaha milikku sendiri, yah walaupun masih
menyewa tempat.
Dengan keahlian sebagai mekanik dan pendidikan di STM dulu, kubuka sebuah
bengkel dan tambal ban. Alhamdulillah, dengan izin dari tuhan yang maha kuasa,
usahaku berjalan lancar. Juga berkat pinjaman yang didapat dari sebuah badan
pinjaman usaha, aku bisa mengembangkan
usahaku dan kini bisa membuka bengkel sekaligus toko alat sparepart motor. Aku
bersyukur, kami bisa bertahan.
Tiba-tiba Seorang bocah pengamen
datang menghampiriku, menyadarkan ku dari lamunan.
“Saat dirimu
terhanyut dalam
sedih yang kau rasakan
seperti mendung
hitam
cobalah kau
sadari
bahwa hidup ini
terllau indah untuk ditangisi
dan
bernyanyilah
senandungkan
suara isi hati
bila kau
terluka
dengarkan
alunan lagu
yang mampu
menyembuhkan lara hati
warnai hidupmu
kembali”
Benar kawan, hidup ini terlalu indah untuk disesali. Kita harus bagkit dari
ketrpurukan dan tak berhenti menyerah. Bukankah hei... Tuhan takkan merubah nasib kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya.
Dengan doa dan usaha tentunya.
Blog post
ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang
diselenggerakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar