Suatu ketika ada seorang janda
yang sangat berduka karena anak satu-satunya mati. Sembari membawa jenasah
anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti
yang bisa menghidupkan kembali anaknya.
Sang Guru mengamati bahwa
wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam,
bahkan sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan
atau penjelasan yang dirasa masuk akal,
Sang Guru berujar:“Aku akan menghidupkan
kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada.”
“Itu saja syaratnya?” tanya
wanita itu dengan keheranan.
“Oh, ya, biji lada itu harus
berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati.”
Dengan “semangat 45″, wanita
itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat entusias, “Guru ini
memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!”.
Dia mendatangi sebuah rumah,
mengetuk pintunya, dan bertanya: “Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu
butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?”
“Oh, boleh saja,” jawab tuan
rumah.
“Anda baik sekali Tuan, tapi
maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?”
“Oh, ada, paman kami meninggal
tahun lalu.” Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah
yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.
Ia mengetuk rumah-rumah
berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji
lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa
kematian sanak saudaranya.
“Ayah kami barusan wafat…,”
“Kakek kami sudah meninggal…,”
“Ipar kami tewas dalam
kecelakaan minggu lalu…,” dan sebagainya.
Ke mana pun dia pergi, dari
gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan
anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain.
Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini;
tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan.
Pada penghujung hari, wanita
ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan
sebelumnya. Dia mengucap lirih, “Guru, saya akan menguburkan anak saya.” Sang
Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.Mungkin saja Sang Guru bisa
mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi
kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya?.
Bukankah anak tersebut suatu
hari akan mati lagi juga?. Alih-alih berbuat demikian Sang Guru
membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan
menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: Siapa yang
tak mati?. Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi
sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita di atas.
Penderitaan hanya benar-benar
bisa diatasi dengan pengertian yang benar akan dua hal: (1) Kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita, dan
(2) Bahwasanya pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan
adalah sesuatu yang bersumber daridalam diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar