Seorang tua yang tidak
berpendidikan berniat mengunjungi suatu kota besar untuk pertama kali dalam
hidupnya. Dia dibesarkan disebuah dusun terpencil, bekerja kerasmembesarkan
anak-anaknya dan sekarang menikmati kunjungan pertamanya ke rumah anaknya yang
modern.
Suatu hari, sewaktu
berjalan-jalan seputar kota, si orang tua mendengar suara yang menyakitkan
telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar di
dusunnya yang sepi dan dia bersikeras mencari sumber bunyi tersebut. Mengikuti
arah suara yang menggangu itu ke sumbernya, dia melihat sebuah ruangan di dalam
sebuah rumah, di mana terdapat seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.
“Ngiiiik! Ngoook!” berasal dari
nada sumbang biola tersebut. Saat dia mengetahui dari putranya bahwa
itulah yang dinamakan “biola”, dia berpikir bahwa dia tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut. Hari berikutnya, di bagian lain kota tersebut, si orang tua ini kembali
mendengar sebuah suara yang mendayu-dayu membelai-belai
telinga tuanya. Dia tidak pernah mendengar melodi yang begitu indah di
dusunnya, diapun mencoba mencari sumber suara tersebut. Sampai ke sumbernya,
dia melihat sebuah ruangan depan sebuah rumah, di mana seorang wanita tua,
seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.
Seketika, si orang tua ini
menyadari kesalahannya. Suara tidak mengenakkan telinga yang didengarnya dulu
bukanlah merupakan kesalahan dari sang biola, bukan pula salah sang anak. Itu
hanyalah proses belajar seorang anak untuk bisa memainkan biolanya dengan baik.
Dari pemikirannya yang sederhana muncullah sebuah kebijaksanaan, si orang tua mulai berpikir demikian pula halnya dengan agama. Sewaktu menemukan seseorang religius yang “bersemangat” (baca: fanatik) terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah proses belajar sang pemula untuk bisa “memainkan” agamanya dengan baik.
Dari pemikirannya yang sederhana muncullah sebuah kebijaksanaan, si orang tua mulai berpikir demikian pula halnya dengan agama. Sewaktu menemukan seseorang religius yang “bersemangat” (baca: fanatik) terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah proses belajar sang pemula untuk bisa “memainkan” agamanya dengan baik.
Sewaktu kita bertemu dengan
seorang suci, seorang maestro agamanya, merupakan sebuah penemuan indah yang
memberi inspirasi kepada kita untuk bertahun-tahun, apapun agama mereka. Namun ini bukanlah akhir dari cerita. Hari ketiga, di bagian
lain dari kota tersebut, si orang tua mendengar sebuah suara lain yang bahkan
melebihi keindahan dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut anda, suara
apakah itu?.
Melebihi indahnya suara aliran
air pegunungan, melebihi indahnya suara angin di musimgugur di sebuah hutan,
melebihi suara burung-burung pegunungan yang bernyanyi setelah hujan lebat.
Bahkan melebihi keindahan keheningan pegunungan yang damai di musim salju pada
malam hari. Suara apakah yang telah menggerakkan hati si orang tua melebihi
apapun itu?. Itulah suara sebuah orkestra besar yang memainkan
sebuah simfoni.
Bagi si orang tua, alasan
mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, seluruh anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing; dan kedua,
mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain
bersama-sama dalam harmoni. “Mungkin ini sama dengan agama,” si orang
tua berpikir. “Marilah kita semua belajar dari
pelajaran-pelajaran kehidupan dalam inti kesejukkan kepercayaan kita masing-masing. Marilah kita semua menjadi maestro dalam cinta kasih didalam agama
masing-masing. Lalu, setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain seperti halnya anggota sebuah
orkestra, bersama-sama dengan agama lain, dalam sebuah harmoni!”. Itulah suara yang paling indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar