Aku tak ingat pertama kali ku
mengetahuinya, tapi sudah dari dulu aku tinggal di panti asuhan ini. Dari kabar
angin aku dibuang oleh orang yang melahirkanku ke sebuah tempat sampah. Untung
ada orang lewat dan menyelamatkanku, kalau tidak mungkin sekarang aku sudah di
alam baka sana.
Waktu masih kecil aku tidak begitu
peduli memikirkan kenapa aku dibuang, aku terlalu sibuk menikmati masa kecilku
dengan bermain. Hari demi hari berlalu hingga akhirnya aku mulai bisa berpikir
dewasa, pikiran itu datang saat aku menginjak kelas dua SMP. Saat itu pembagian
raport dan seperti biasa pembimbing kami di panti asuhan yang akan mengambil
raport kami. Sedangkan anak lain yang bukan dari panti asuhan raportnya diambil
oleh kedua orangtua mereka.
Dadaku sakit, ada rasa cemburu saat ku
melihat tingkah teman-teman yang ada orangtuanya. Mereka bermanja-manja dengan
orangtua mereka karena mendapatkan nilai yang bagus. Mereka dengan mudahnya
meminta sesuatu sebagai hadiah karena keberhasilan mereka. Sedangkanku yang
telah berhasil juara satu umum hanya mendapatkan kata “selamat” dari
pembimbingku. Aku miris, aku seperti tidak diperhatikan, aku merasa... kecewa.
Memang aku tinggal di panti asuhan
jadi aku tak bisa mengharapkan lebih tapi aku berbeda dengan teman-teman di
panti. Mereka tinggal disini dikarenakan orangtua mereka meninggal, sedangkan
aku dibuang. Di luar sana ada kedua orangtuaku tapi aku tak tahu kabar mereka
dan kenapa aku tidak hidup dengan mereka. Apa memang dari awal aku orang yang
tidak dipedulikan.
Aku butuh perhatian.
Suatu hari aku melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di meja,
karena judulnya menarik aku mengambil dan membacanya. Aku lupa bertanya ataupun
meminta izin kepada orang yang mempunyai buku itu lalu terjadilah hal yang
menurutku heboh. Seisi panti asuhan sibuk mencari buku tersebut, buku yang
hilang tersebut mendapatkan perhatian dari banyak orang. Hebat.. pikirku buku
saja dapat perhatian apalagi orang yang tahu dimana buku tersebut.
Aku pun mengaku dan tahukah apa yang ku terima, sebuah hinaan. Hinaan
bertubi-tubi ku terima, hinaan kata seperti anak tidak tahu terima kasih sampai
dengan anak buangan. Hari itu rasanya aku ingin menangis dan teriak
sejadi-jadinya, tapi itu tidak ku lakukan. Aku memendam perasaan sakit itu. Mulai
hari itu juga, seisi panti membenciku dan aku juga membenci mereka.
Pembimbing kami di panti asuhan teryata tak membenciku, ia masih
berbicara dan menasihatiku. Bertanya-tanya kenapa aku mengambil buku itu, aku
pun menjawabnya. Dia mengerti dan mulai menjelaskan ke seluruh panti asuhan
agar memaafkanku karena kecerobohanku. Hari demi hari kehidupanku mulai membaik
di panti asuhan, lalu terjadilah satu peristiwa lagi.
Ada barang lagi yang hilang di panti asuhan yaitu pena peninggalan
terakhir dari orangtua salah satu anak panti dan aku dicurigai sebagai
pencurinya. Aku pernah sekali melihat pena itu, pena itu sangat cantik,
kulitnya bewarna emas dan ada tulisan nama orangtua anak panti itu. Aku bersumpah
aku tidak mencurinya tapi banyak yang tidak percaya padaku. Malam itu aku mengurung
di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Pembimbing menemaniku malam itu dan
menunggu kisahku. Aku menjelaskannya dengan terbata-bata sambil menangis,
untungnya dia mempercayaiku.
Seminggu berlalu, saat itu aku tak sengaja menjatuhkan tasku
sebelum berangkat ke sekolah. Buku dan barang-barangku di dalam tas
berhamburan, tapi ada yang lain. Diantara tumpukan barangku yang berhamburan ada
barang yang bukan milikku. Barang itu adalah pena, pena peninggalan terakhir
yang hilang waktu itu. Aku tak tahu kenapa pena itu ada di dalam tasku.
Salah satu anak yang melihat pena
itu saat tasku terjatuh berteriak. “Maling... maling... ternyata dia memang
malingnya...” aku panik, aku menyangkalnya. Seisi panti mengelilingiku dari
tampang mereka terlihat jelas bahwa mereka menyalahkanku. Menyalahkanku padahal
aku sendiri tak tahu kenapa pena itu di tasku. Pembimbing kami datang, aku
meminta pertolongan kepadanya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, aku
ditampar.
Aku kini dibenci, tak ada yang
peduli denganku. Bahkan satu-satunya orang yang ku sangka peduli denganku
membenciku. Besoknya hidup di panti asuhan sama seperti tinggal di tempat asing
bagiku, tak ada yang mau menegurku. Aku pun muak lalu memutuskan untuk kabur.
Di luar panti aku bingung, bingung
gimana bisa makan, bisa mandi, bisa tidur... Tapi jika aku kembali ke panti pun
percuma, tak kan ada yang peduli denganku. Aku bertahan hidup dengan apa yang
ku bisa, pertama ku menunggu sisa makanan di restoran tapi lama-lama aku muak. Aku
mau makan makanan yang layak, untuk itu akupun mulai berani mencuri.
Beberapa bulan berlalu, aku hidup
dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku tak pernah kelaparan karna aku selalu
berhasil mencuri apa yang ku inginkan. Dari dompet sampai motor telah berhasil
ku curi. Tapi benar kata pepatah sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan
jatuh juga. Aku tertangkap dan dipenjara, tapi karena umurku baru 15 tahun termasuk
kategori anak-anak di bawah umur aku hanya dipenjara 3 bulan.
Aku mau tobat dan berniat kembali ke
panti asuhan, tapi lagi-lagi bukan kata selamat datang yang ku terima melainkan
caci maki. Malahan lebih parah dikarenakan beberapa waktu lalu fotoku yang
tertangkap masuk koran. Seisi panti menolak kedatanganku, aku kini benar-benar
sudah di cap sebagai pencuri.
Aku kembali hidup di jalanan, aku
berusaha mencari pekerjaan yang halal tapi itu sangat sulit ku dapatkan. Walaupun
ada itu tak cukup untuk ku tetap bisa makan. Akupun kembali ke profesi lamaku
yaitu mencuri dan sekali lagi aku ditangkap. Kali ini aku dihukum 6 bulan
penjara.
Waktu dibebaskan akupun kembali
bingung mau apa, hidup seakan-akan hanya mempermainkanku. Aku pun kembali
mencuri lagi. Seperti yang di duga sebelumnya aku kembali lagi ditangkap. Saat itulah
ku sadar, lebih enak hidup di penjara. Disana ada teman yang senasib denganku. Orang
yang terpaksa melakukan kejahatan karena tak adanya perhatian dari orang lain
di luar sana. Aku lebih baik hidup di penjara daripada bebas tapi tak dapat
perhatian, tak pernah dapat apa yang namanya kasih sayang. Kalau di penjara aku
tak perlu memikirkan perut lapar karna telah disediakan, walau kadang kala
makanan itu tak layak. Aku lebih merasa aman di penjara karena tak ada yang
memukuliku karna bukan kesalahanku. Aku lebih baik mati dipenjara karena ku
yakin nanti para sipir disini akan memakamkanku dengan layak. Daripada di luar
sana, mungkin saat ku mati bukannya pemakaman yang ku dapatkan tapi bisa jadi
aku di buang seperti bangkai tikus. Dibuang di di tempat sampah, sama seperti
waktu pertama kali aku lahir.
-RaSyBa-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar