BAB II
Pengajaran Pendidikan Islam oleh Orangtua yang
Berprofesi Penambang Timah Terhadap Pengajaran Keagamaan Anak Prasekolah
A.
Pengajaran
Pendidikan Islam
Dalam melakukan sesuatu membutuhkan
perencanaan yang jelas, tepat, dan matang sehingga dalam proses menjalankannya
segala persiapan yang dibutuhkan akan dapat dipenuhi dan segala kesalahan dapat
diperkecil pengaruhnya. Begitu pula jika ingin mempersiapkan pendidikan
terhadap orang lain.
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan
pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk
mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai proses
hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan semata-mata sebagai
sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk kehidupan anak
sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaannya.[1]
Dalam pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.[2]
Ki Hajar Dewantara mengutarakan tentang alat
pendidikan yang dapat digunakan dalam mendorong keberhasilan pendidikan,
diantaranya:[3]
Motivasi (dorongan), memberikan dorongan kepada anak baik
dari luar maupun dari dalam agama anak memiliki keinginan untuk melakukan
kegiatan baik verbal maupun non verbal.
Reinforcement (penguatan), memberikan pengulangan kepada anak
baik dari luar maupun dari dalam agar anak mengetahui dan memahami tentang
sesuatu yang diberikan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Reward (penghargaan), ketika anak sekolah sudah mampu
menyelesaikan tugas lebih dahulu dengan baik, maka pendidik memberikan
penghargaan kepada anak dengan memberikan acungan jempol atau memberikan tanda
bintang dan lingkaran penuh.
Punishment (sangsi sosial), ketika anak membuang sampah
sembarangan sebagai sangsinya anak disuruh mengambil sampah dan membuangnya ke
tempat sampah.
Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan
sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana
yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadis serta dalam pemikiran para ulama
dan dalam praktik sejarah umat Islam.[4]
Sedangkan menurut Asnelly Ilyas yang
dimaksud dengan pendidikan Islam ialah mempersiapkan anak dari segi jasmani,
akal, dan ruhani sehingga ia menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, baik
untuk dirinya maupun bagi umatnya.[5]
Mencari ilmu adalah kewajiban yang harus dipikul
oleh setiap individu (fardu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardlu kifayah (fardlu atas sebagian kaum muslimin) tidak akan
gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslimin berhasil
melaksanakannya dalam batas yang mencukupi, misalnya ilmu kedokteran, industri,
elektronik, mekanika, dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan
dalam kehidupan kaum muslimin. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan
jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok tiap warga masyarakat, berupa
pangan, sandang, papan, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, serta
alat transportasi untuk memenuhi kebutuhannya yang jauh. Demikian juga Islam telah menjamin
terselenggaranya penanganan masalah kesehatan dan pendidikan.[6]
Sumber pendidikan Islam ada dua: pertama, sumber
Ilahi yang meliputi Al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta sebagai ayat kauniyah
yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber insaniah yaitu lewat proses
ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian terhadap sumber Ilahi
yang masih bersifat global.[7]
Pendidikan dalam Islam dipaparkan pada wahyu yang pertama kali turun dalam surat Al
'Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya: “(1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, (2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3). Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, (4). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, (5). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[8]
Pendidikan dalam Islam adalah hal pertama kali dianjurkan oleh
agamanya. Dengan
makna yang terkandung di dalamnya adalah agar dianjurkan umat Islam untuk
membaca. Membaca
adalah langkah awal untuk mengetahui tentang ilmu yang ada di dunia ini. Jika
seseorang tidak tahu bagaimana cara membaca maka orang tersebut termasuk orang
yang merugi dan besar kemungkinan orang tersebut akan ditipu oleh oknum-oknum
yang memanfaatkannya dan tidak bertanggung jawab dengan perbuatannya.
Menurut Muhammad Faiz
Al-Math pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang
mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini, maka orientasi
pendidikan Islam diarahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerang
jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan
iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiaannya (amal
saleh).[9] Sistem pendidikan dalam Islam paling ideal
dibandingkan dengan sistem keluarga manapun di dunia. Setiap individu dalam keluarga mempunyai hak utuh
seperti hak hidup, hak untuk dihormati, dicintai, dan diperlakukan secara baik. Setiap individu mempunyai kewajiban masing-masing
sehingga tercipta hubungan keluarga yang erat dan harmonis.[10]
Tindakan orangtua dalam mendidik haruslah mendapatkan perhatian yang lebih
bagus dari tindakan yang dilakukan oleh orang lain, dikarenakan anak terutama
pada masa prasekolah sangat membutuhkan arahan langsung dari orangtua yang memegang peranan penting dalam hal mendidik.
Pendidikan yang langsung didapat dari orangtua memiliki perasaan atau kekuatan
yang berbeda dengan yang diajarkan atau didapatkan oleh orang lain, dikarenakan
hubungan orangtua dan anak merupakan salah satu hubungan yang kuat dan takkan
pernah lepas di dunia ini.
Jalannya pengajaran pendidikan Islam bersifat konsisten dan konstan (tetap) bila dilandasi proses dasar
pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan Islam. Dengan
demikian suatu sistem pendidikan Islam harus berkembang dari proses yang
membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak Islam. Sifat
konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari proses dasarnya sehingga hasilnya
juga sama dengan pengajaran pendidikan yang dilakukan.
Dalam membina sebuah rumah tangga kehadiran anak adalah pelengkap
sekaligus pelipur lara dalam kehidupan keluarga. Dengan kehadiran anak dapat membuktikan atau melihat sejauh mana kesanggupan dan kemampuan orangtua dalam kesiapan berkeluarga. Sehingga dalam keluarga yang mempunyai anak
ketika menghadapi kehidupan yang akan mereka tempuh di kemudian hari turut juga membuat kesiapan anak mereka. Hal tersebutlah yang mengharuskan untuk sebuah
keluarga agar lebih siap siaga ketika diamanatkan untuk memiliki dan membimbing
anak.
Dengan bertambahnya satu anggota keluarga lagi yaitu anak, keluarga
tersebut bisa bangga dan itu tidak hanya dinikmati oleh orangtua saja tetapi
seluruh anggota keluarganya yang lain, karena seringkali dengan hadirnya seorang anak secara tidak langsung
bisa mengangkat derajat keluarganya karena budi pekerti atau prestasi yang
diraihnya, dan memang begitulah yang seharusnya diperbuat oleh seorang anak di kemudian hari. Tetapi, jika dididik dengan cara yang salah
maka anak juga bisa menghancurkan martabat keluarganya karena perilaku
buruknya.
Anak merupakan pondasi yang paling mendasar bagi terbentuknya sebuah
bangunan masyarakat. Apabila kita meletakkannya dalam posisi yang benar,
bangunannya secara utuh akan bisa lurus, kendati bangunan tersebut besar dan
mencakar langit.[11]
Menurut Nawawi
anak adalah karunia
Allah yang sangat besar nilai dan fungsinya bagi kehidupan keluarga. Setiap orangtua harus benar-benar
bersyukur bila telah dikaruniai anak. Selain itu, orangtua harus menyadari bahwa anak adalah amanat dari
Allah yang harus dipelihara dan dididik dengan sebaik-baiknya. Agar kehadiran anak bisa benar-benar menjadi
rahmat serta menjadi kebanggan bagi keluarganya, sejak kecil anak-anak harus dididik dengan baik
yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Sejak dini anak-anak harus diperkenalkan pada
ajaran agama.[12]
Dalam kehidupan anak prasekolah, orangtua mengambil peran sebagai
pengarah yang mendidik anak sehingga pengajaran pendidikan yang dilakukan dalam perkembangan dan pengetahuannya sesuai
dengan tahap umur anak. Jika itu berhasil maka bisa dijamin anak akan mudah
menyesuaikan tindakan yang akan dilakukan seandainya dia menghadapi suatu
masalah dan tentu saja jika anak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, itu
merupakan kebanggaan untuk orangtua, karena telah sukses mendidik anak dalam
menyelesaikan masalah.
Secara pribadi setiap anak akan mengembangkan proses reaksi
masing-masing terhadap rangsangan/kejadian yang dialaminya, dan setiap anak
akan berkembang sesuai dengan tempo dan kecepatan masing-masing. Dengan
demikian kecepatan perkembangan seorang anak tidak selalu sejalan dengan kawan-kawannya maupun dengan
usia kronologisnya. Perkembangan setiap manusia melalui beberapa tahapan,
dimana setiap tahap kehidupan mempunyai ciri masing-masing. Anak usia dini pun
berkembang melalui tahapan dan setiap peningkatan usia kronologisnya akan
menampilkan ciri-ciri perkembangan yang khas.[13]
Untuk
lebih mudahnya akan kita bahas terlebih dahulu tentang ciri-ciri perkembangan
anak menurut beberapa ahli. Menurut Agus F. Tangyong mengatakan bahwa ciri-ciri
perkembangan anak usia 0-7 tahun ini menampilkan tentang minat mereka terhadap dunia
luar (lingkungannya). Sesuai dengan tingkat perkembangannya, maka lingkungan
yang paling akrab dengan dirinya adalah lingkungan rumah tangga. Dengan demikian pertumbuhan dalam perkembangan
anak sejak dilahirkan hingga usia 7 tahun, tampaknya sangat bergantung kepada
pembentukan di rumah tangga. Di sinilah tampaknya peran kedua orangtua sangat
dominan dalam membentuk diri anak.[14]
Ki Hajar Dewantara mengatakan usia 1-7 tahun dipandang sebagai masa
kanak-kanak, pendidikan yang cocok pada fase ini yaitu dengan cara pemberian
contoh dan pembiasaan.[15]
Muhammad Syafei meyakini bahwa dasar-dasar kependidikan di Indonesia dan
implikasinya pada anak prasekolah haruslah
dapat mengembangkan: percaya pada diri sendiri, berakhlak (bersusila) setinggi
mungkin, mempunyai daya cipta, berperasaan tajam, halus, dan estetis, jasmani
yang sehat dan kuat, diusahakan supaya anak mempunyai darah ksatria, yang
berarti berani karena benar, mempunyai jiwa konsentrasi, pemeliharaan sesuatu
usaha, menepati janji, hemat, memenuhi kewajiban dalam belajar.[16]
Menurut Conny R. Semiawan pendidikan bagi anak pada usia-usia ini
adalah belajar sambil bermain. Bagi anak bermain adalah kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak
dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat bereaksi dan berekplorasi
untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat mengembangkan
semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental, intelektual,
dan spritual. Bermain
adalah medium, di mana anak menyatakan jati dirinya, bukan saja dalam
fantasinya, tetapi juga benar nyata secara aktif. Permainan adalah alat bagi
anak untuk menjelajah dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai pada yang ia
ketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuatnya hingga mampu melakukannya.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa, belajar sambil bermain bagi anak usia dini
merupakan persyaratan penting bila orangtua menginginkan anaknya sehat mental.[17]
Fase antara tahun kedua dan tahun ketiga, ini adalah fase sulit. Fase
ini seorang anak akan mencoba kemampuannya, belajar berusaha, dan berbuat
salah; memecahkan dan menghancurkan sesuatu dengan sengaja atau tidak sengaja,
tidak mau mendengar perintah orangtua. Bahkan tabiatnya pada usia ini adalah
melanggar perintah dan kata-kata yang disukainya adalah kata “tidak”. Jika dia
marah, maka akan marah besar dan berharap untuk bisa merusak apa yang merintangi
jalannya. Kita tidak boleh mengekangnya, tetapi yang harus kita lakukan adalah
membiarkannya bebas dan meringankan jiwanya. Berilah suatu benda untuk dipecahkan dan dirusak
olehnya, tinggalkan dia bermain dengan air agar dia dapat menemukan sesuatu
yang baru. Kita harus
dapat memenuhi keinginannya untuk merusak sesuatu yang tidak membahayakan
dirinya, atau merusak sesuatu yang berharga.[18]
Anak
prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6
tahun menurut Biechler dan Snowman,[19] yang setiap jenjang umur
yang diperoleh anak-anak akan menempuh beberapa persoalan yang sesuai dengan
umur mereka. Orangtua diharapkan bisa menyesuaikan kebutuhan anak-anak sesuai
dengan fase umur mereka.
Peran orangtua pada fase ini dibutuhkan pengujian karena anak sedang
melakukan sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya. Kebijakan orangtua dalam
membimbing anak haruslah tepat sasaran sehingga anak tidak dibebani oleh
kebingungan yang akan dihadapi saat dia melakukan sesuatu yang sama sekali
belum diketahui olehnya. Orangtua juga harus pintar-pintar mengalihkan
perhatian anak sehingga anak tidak terbuai oleh kegiatan lainnya.
Pada tahun ketiga. Pada fase ini seorang anak lebih pasrah daripada
fase sebelumnya, lebih paham dan lebih “kooperatif”
(bisa diajak bekerja sama). Kita harus mengajarinya bagaimana bekerja sama
dengan orang lain, mengajarkan sebagian perilaku baik yang sederhana seperti
mencintai orang lain, atau menghormati barang milik mereka.[20]
Pengajaran
pendidikan setiap
orangtua pada fase ini diharapkan agar mereka dapat memainkan perannya sebagai
pendidik dan bisa memanfaatkan kesempatan yang dilihatnya pada fase anak tahun
ketiga ini. Orangtua harus bisa membangun kekuatan dan kerjasama yang akan
membuat hubungan keluarganya semakin erat. Sehingga hubungan orangtua dan anak
terjalin ikatan yang kuat, dan hal tersebut merupakan nilai tambah terhadap pendidikan keluarga tersebut.
Pada tahun keempat dari usianya. Anak pada usia ini lebih giat dan
lebih enerjik. Dia berusaha untuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya dan
mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Dia banyak bertanya
tentang segala hal, sebagaimana juga dia senang mengejek dan menghina. Kadang dia melontarkan ejekan kepada teman-temannya
bahkan kepada saudara dekat sekalipun. Hal ini mendorong kita untuk dapat berlaku baik kepadanya dalam
menghadapi sikapnya, mendidiknya dalam batasan-batasan, memahaminya, dan
bersabar.[21]
Dalam fase tahun ini orangtua harus pandai-pandai menempatkan dirinya
dalam kelakuan ataupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak. Sebab peran orangtua dalam fase ini hubungannya
bisa dikatakan dapat mengalihkan kepribadian anak atau lebih gampangnya
perubahan sikap baik ataupun sikap buruk anak dikemudian hari dalam hal tingkah laku bisa dilihat dari
didikan orangtuanya pada fase tahun ini.
Dalam aspek lain, anak yang berusia sekitar 4 tahun memiliki
egosentris, dan di usia 5 tahun barulah tumbuh rasa sosialnya. Selanjutnya
sekitar usia 7 tahun mulai tumbuh dorongan untuk belajar.[22] Ketika
mencapai usia lima tahun, dia tumbuh lebih matang dan lebih paham. Dia dapat
memahami apa yang kita inginkan darinya, dapat memperlihatkan kesalahan dan
mengakuinya, sebagaimana dia lebih banyak berusaha untuk mandiri pada dirinya sendiri.
Dia sudah bisa mandi dan memakai baju sendiri. Pada saat ini, kita harus
memberikan pujian kepadanya atas tingkah laku baiknya dan atas kerja sama yang
dilakukannya dengan kita, atau dengan teman-temannya.[23]
Anak pada usia lima tahun dapat mengikuti perintah-perintah
orangtuanya dan mengikuti apa yang dipelajarinya dari prinsip-prinsip moral
yang sederhana. Dia tidak akan melakukan suatu perbuatan yang membuat kedua
orangtuanya marah, walaupun keduanya tidak ada di dekatnya. Tetapi bukan
berarti bahwa perasaan itu telah terbentuk dalam dirinya. Dia melakukan hal itu dikarenakan rasa takut dari
hukuman, atau takut orangtua memarahinya.[24]
Banyak ahli jiwa dan para dokter yang berpendapat bahwa usia lima
tahun pertama pada seorang anak yang baru saja kita bicarakan adalah fase
terpenting dalam kehidupan anak, terutama dari sisi kejiwaanya. Ini akan
menentukan sifat-sifat kepribadian anak kelak. Untuk itu, pendidikan modern
lebih memfokuskan perhatiannya pada periode ini dalam kepribadian anak.[25]
Pada tahun keenam, anak mulai mengamati untuk belajar, tetapi sifat
kooperatifnya lebih rendah dari sebelumnya. Dia hidup dalam masanya dan menghindari bentuk
khayalan serta lebih cenderung untuk mencontoh. Pada usia enam tahun, anak
mulai mengenal apa itu benar dan apa itu salah dengan cara yang lebih mendalam
dari sebelumnya, tetapi tentu tidak seperti apa yang kita pahami.[26]
Setiap fase diatas baik dari pada tahapan umur tiga tahun maupun
sampai enam tahun, semuanya mempunyai perannya masing-masing dalam perkembangan anak sehingga orangtua mempunyai proses-proses
tersendiri yang telah disiapkan dalam menghadapi kepribadian yang mungkin
terjadi pada diri anak mereka.
Hak-hak anak merupakan suatu
kenyataan bahwa anak pun memiliki hak-hak yang perlu dihormati oleh siapa saja. Sementara itu masih banyak orang yang masih
memperlakukan anak demi kepentingan pribadi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 14 menyebutkan bahwa setiap
anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.[27]
Tahun Internasional Anak yang disponsori oleh badan internasional
yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 1979 membantu mengarahkan
perhatian hak-hak anak. Deklarasi PBB terhadap hak anak meliputi:[28]
1. Hak untuk memperoleh kasih sayang, cinta dan
pengertian.
2. Hak untuk mendapatkan gizi dan perawatan
kesehatan.
3. Hak untuk mendapat kesempatan bermain dan
bereaksi.
4. Hak untuk mempunyai nama dan kebangsaan.
5. Hak untuk mendapatkan perawatan khusus jika
cacat.
6. Hak untuk belajar agar menjadi warga negara yang
berharga.
7. Hak untuk hidup dalam kedamaian dan persaudaraan.
8.
Semua anak
mempunyai hak yang sama, tidak dibedakan dan didiskriminasikan.
Perhatian terhadap anak prasekolah sudah sewajarnya dilakukan
mengingat pada fase tersebut anak-anak memerlukan pengajaran langsung dari
orang yang dekat dan dipercaya olehnya. Sehingga arah masa depan anak akan
dapat dipastikan walaupun nantinya akan mendapat pengaruh dari faktor-faktor
lain yang akan ditemui olehnya di kemudian hari.
Anak-anak di hari ini, akan menjadi bapak di hari esok dan selanjutnya
akan meneruskan estafet generasi umat manusia. Mereka (anak-anak)lah yang akan
menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan dan mendapatkan perhatian yang serius sesuai ajaran dari Nabi kita Muhammad SAW dengan penuh kasih sayang.[29]
Saat ini banyak alternatif lain yang bisa dilakukan oleh orangtua
seandainya mereka terlalu sibuk atau keilmuan mereka yang kurang dalam mendidik
anak, mereka bisa menggunakan beberapa jasa yang ditawarkan. Banyaknya jasa
pendidikan anak yang ditawarkan oleh orang lain, seharusnya tetap membuat para orangtua untuk mendidik anak secara
langsung, sebab pendidikan dari orangtua adalah nilai yang sangat membantu anak
dalam mempercayai kehidupannya.
Sebagian orangtua ada yang menitipkan anak-anaknya pada
sekolah-sekolah asing yang dapat merubah cara berpikir anak, kepercayaannya dan
mencabut mereka dari norma-norma Islam yang bermuara pada bobroknya akhlak
maupun ibadah seorang anak. Bahkan lebih parah dari itu, anak-anak kita ikut
serta dalam beragam aktifitas seperti ikut dalam perayaan hari-hari besar, atau
pada acara-acara umum maupun khusus agama selain Islam seperti perayaan hari natal, tahun baru, valentine dan lain-lain.[30]
Setiap orangtua membutuhkan
pekerjan untuk menyantuni kehidupan keluarga mereka. Abdul Aziz Al-Khayyath menjelaskan pengertian kerja
dalam arti luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam
hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah
setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidupnya. Inilah
pengertian kerja yang biasa dipakai dalam dunia ketenagakerjaan dewasa ini. Sedangkan pekerja -dalam lingkup pengertian ini-
adalah orang yang bekerja dengan menerima upah, baik pekerja harian atau
bulanan, maupun dalam perusahaan atau lembaga.[31]
Allah
berfirman tentang pekerjaan yang dilakukan oleh umat manusia yang tercantum
pada surat Faathir ayat 8, yang berbunyi:
`yJsùr& tûÉiïã ¼çms9 âäþqß ¾Ï&Î#uHxå çn#uätsù $YZ|¡ym ( ¨bÎ*sù ©!$# @ÅÒã `tB âä!$t±o Ïökuur `tB âä!$t±o ( xsù ó=ydõs? y7Ý¡øÿtR öNÍkön=tã BNºuy£ym 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqãèoYóÁt ÇÑÈ
Artinya: “Maka Apakah orang
yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia
meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?,
Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki
siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena Kesedihan
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”[32]
Bekerja yang dilakukan oleh sebuah keluarga
merupakan pekerjaan yang memang harus dilakukan jika ingin membina kehidupan
yang lebih baik. Sebab anak
yang hadir dalam kehidupan keluarga tersebut merupakan sebuah amanat yang harus
dijaga, dilindungi, dan diayomi. Jika orangtua tidak bekerja maka keluarga tersebut tidak dapat bertahan hidup dalam taraf
keharusan yaitu kebutuhan sehari-hari untuk bertahan hidup. Apabila anak kurang mendapatkan pendidikan yang
cukup dikarenakan kurangnya kemauan orangtua dalam bekerja maka itu bisa
mempengaruhi faktor pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika itu terjadi maka
anak akan mendapatkan penyakit kekurangan gizi seperti busung lapar atau
mungkin lebih parah yaitu kematian.
Dalam tradisi Islam, kerja dinilai sebagai sesuatu yang paling tinggi,
dan di lingkungan birokrasi pemerintahan dan politik, kerja masuk dalam
kategori profesi yang sulit. Berkaitan dengan ini, istilah pekerja biasanya
dikategorikan dalam level pemerintah dalam arti luas dan para birokrat negara
di berbagai wilayah, besar ataupun kecil. Dalam kaitan ini, pekerja yang
dimaksudkan adalah para pengusaha.[33]
Walaupun kehidupan di kota dan desa berbeda, itu tidak menyulutkan
perjuangan orangtua dalam melakukan pekerjaannya. Sebab ditakutkan apabila
orangtua menurunkan frekuensi pekerjaannya maka kebutuhan kecukupan materi yang
diperlukan anak di zaman globalisasi ini akan tertunda atau bahkan lebih parah,
bisa saja pendidikan
anak akan tertinggal
dan gagal. Orangtua harus lebih giat dalam bekerja dan itu harus dibuktikan
dengan tindakan.
Landasan Hukum Pertambangan Rakyat yang eksistensi penambangaan rakyat
diakui secara yuridis. Pertambangan rakyat tersebut diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor
11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Kemudian, ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam:
a.
Pasal 5 sampai 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan;
b.
Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar