Kamis, 13 Januari 2011

Korupsi (Masalah Sosial Masyarakat)


PENDAHULUAN
Sosiologi berusaha untuk mempelajari masyarakat secara ilmiah. Setiap ilmu sosial memiliki fokus tersendiri dan fokus sosiologi adalah tentang kehidupan kelompok ras manusia dan hasil interaksi sosial dari kehidupan kelompok ini.[1] Berbagai teori kerap kali muncul secara mencolok sebagai reaksi terhadap perkembangan perubahan kebutuhan masyarakat demikian pula sosiologi yang ditemukan ketika terjadi kekacauan rvolusi di Eropa, kemudian disiplin ilmu itu terus berkembang bereaksi terhadap perkembangan sosial, seperti industrialisasi, birokritasi, kebutuhan kesejahteraan, ledakan penduduk, dan lain-lain. Teori dapat dilihat sebagai reaksi perubahan dan konseptualisasi perubahan sosial dan fisik yang berkembang di masyrakat dan terjadi terus-menerus sebagaimana dengan oleh beberapa kelompok akademik dan intelektual tertentu.[2] Dan masalah korupsi menjadi salah satu bagian yang diteliti melalui sosiologi sehingga bisa memunculkan penuntasan terhadap masalah tersebut.
Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Ada orang mengatakan, korupsi merupakan seni hidup, dan menjadi salah satu aspek kebudayaan kia. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Akibatnya, kaum koruptor yang kaya-raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga menduduki status sosial yang tinggi.[3]

PEMBAHASAN
KORUPSI
A.    Pengertian Korupsi.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.[4]
Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others.” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.
Korupsi bisa dimasukkan ke dalam katagori perbuatan kejahatan maka praktik-praktik yang dapat dimasukkan ke dalam perbauatan korup antara lain ialah:
Penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan intensi mencuri kekayaan negara, pemerasan, penggunaan kekaatan hukum dan.atau kekuatan bersenjata untuk imbalan dan upah materiil, barter kekauasaan politik dengan sejumlah uang, penekanan kontrak-kontrak oleh kawan “sepermainan” untuk mendapatkan komisi besar bagi diri sendiri dan kelompok dalam; penjualan “pengampunan” pada oknum-oknum yang melakukan tindak pidana agar tidak dituntut oleh yang berwajib dangan imbalan uang suap; eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi, dan lain-lain.[5]
Dalam masyarakat primitif, korupsi jarang terjadi. Hal ini disebabkan oleh dominasi dari tradisi dalam penentuan tingkah laku manusia dan adanya kontrol langsung oleh segenap anggota masyarakat kecil itu. Maka korupsi berkembang dengan semakin majunya dunia ekonomi dan sosial. Oleh perkembangan demokrasi parlementer dan semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan sumber-sumber alam baru, semakin ikut berkembang pula praktik-praktik korupsi dan tindak-tindak manipulatif. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan negara, semakin kuat pula dorongan individu-(terutama di kalangan pegawai negeri)- untuk melakukan korupsi dan usaha-usaha penggelapan.[6]


B.     Sebab-Sebab Korupsi Muncul di Lingkungan Masyarakat Sosial
Menurut Giddens modernitas itulah yang melandasi “bayangan ancaman tentang ketidakberartian pribadi” (Giddens, 1991:201). Segala sesuatu yang berarti telah diasingkan dari kehidupan sehari-hari; segala sesuatu yang semula berarti dalam kehidupan, kini telah tertindas. Tetapi secara dialektika, semakin tinggi refleksitas kedirian, semakin meningkat kemungkinan untuk kembali ke sesuatu yang ditindas sebelumnya. Giddens melihat bahwa kita bergerak menuju dunia yang mana “dalam tingkatan kolektif dan dalam moral kehidupan hari ke hari / pertanyaan akan eksistensi kembali ke tengah panggung” (1991:208). Kehidupan yang melampaui modernitas adalah kehidupan tyang ditandai oleh “re-moralisasi”. Masalah moral dan masalah eksistensialisme yang telahm tersingkirkan ini akan menempati posisi sentral dalam masyarakat di akhir era modern.[7]
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalanimbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material). Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif.
Penelitian membuktikan, bahwa pada fase-fase yang paling intensif dalam aktivitas modernis, korupsi ini paling subur berkembangnya. Apakah sebabnya modernisasi menelorkan banyak praktik korupsi, sebabnya adalah sebagai berikut:[8]
1.      Modernis menimbulkan perubahan-perubahan nilai yang paling mendasar di masyarakat, khususnya dalam hal norma-norma, harapan, prestasi dan ambisi materiil. Standar-standar dan kriteria baru mengenai baik-buruk, mendorong orang mengutuk, dan meninggalkan beberapa pola tingkah laku tradisional dan tata-susila tertentu, lalu mengoper pola-pola korup. Konflik-konflik antara norma-nora modern melawan norma-norma tradisional itu membuka kesempatan bagi individu-individu untuk bertindak sendiri-sendiri, dengan cara masing-masing, bertindak seenak sendiri, dan demi kepentingan sendiri, jadi bertindak korup.
2.      Modernisasi itu juga membutuhkan korupsi, karena modernisasi selalu menghasilkan sumber-sumber kekayaan dan sumber-sumber kekuasaan baru, tanpa menyertakan tegaknya lembaga-lembaga kontrol yang seimbang. Dalam keadaan demikian, korupsi merupakan hasil langsung dari kemunculan OKB-OKB (orang kaya baru dan kelompok-kelompok pendatang baru (new arrive), dengan sumber-sumber kekayaan baru dan metode-metode baru untuk memperkaya diri sendiri. Banyak usaha lalu ditujukan ke arah usaha penyejahteraan diri sendiri, keluarga sendiri, dan kelompok sendiri seefektif mungkin dalam iklim ekonomi dan politik baru, untuk menimbun harta kekayaan. Maka jabatan dan fungsi formal dimanfaatkan untuk manipulatif, praktik-praktik nonreguler serta macam-macam bentuk penyimpanan tingkah laku. Pendeknya, jabatan resmi dimanfaatkan untuk melakukan korupsi.
3.      Modernisasi juga memungkinkan perluasaan otoritas dan kekuasaan pemerintah, serta melipatkagandakan aktivitas-aktivitas pembangunan dan pengaturan, yang semuanya memberikan celah-celah kemungkinan bagi tindak korup serta penindasan-penekanan terhadap pihak yang lemah dan bodoh.
4.      Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma etis dalam periode transisional dan modernisasi dengan perubahan-perubahan yang maha cepat jelas memunculkan bentuk mentalitas baru; yaitu mentalitas “kebut-kebutan”, nyerempet-nyerempet bahaya, menempuh jalan pintas, memotong jalannya orang dari kiri ke kanan, melanggar peraturan dan hak orang lain, menyerobot ke depan dan ke belakang. Pendeknya mengkondisikan munculnya mentalitas korup.
5.      Di negara-negara berkembang termasuk juga Indonesia, modernisasi pada umumnya tidak atau belum ditunjang oelh pengembangan lembaga-lembaga politik, bahkan dibarengi dengan melemahnya intuisi-intuisi politik. Lemahnya lemabag-lembaga politik inidisebakan oleh karena mudahnyalembaga tersebut dibeli oleh kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Yakni dibeli oleh kelompok bisnis/ekonomi, sosial, agama, kedaerahan, kesukuan, clan, kasta, profesi/pekerjaan asosiasi-asosiasi, dan kekuatan-kekuatan asing tertentu dengan dolaratau rupiah, sehingga otonominya. Dengan kata lain, lembaga politik tadi disebut sebagai korup.
Sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat kemerdekaan, sebagian besar dari rakyat Indonesia adalah petanidan protelar tanpa harta benda. Maka di dalam kemerdekaan itu muncullah dorongan  yang amat kuat di tengah masyarakat kita untuk menaikkan taraf kehidupan dan memperbaiki status sosial, khususnya terdapat di kalangan para pemimpin.[9]
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
2. Warisan pemerintahan kolonial.
3. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.

C.    Akibat-Akibat Korupsi Terjadi di Lingkungan Masyarakat Sosial
Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah  urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang, dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.[10]
Akibat-akibat korupsi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

D.    Upaya Penanggulangan Korupsi Demi Keberlangsungan Kehidupan Sosial Masyarakat
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope.[11]
Pada kenyataannya, sering kali rakyat itu sendiri, yakni korban dari resiko itu, yang mulai merefleksikan risiko dan akibatnya bagi rakyat. Merekalah yang menjadi ahli yang mempertanyakan modernitas terdahulu dan bahayanya. Mereka melakukan ini sebagian karena mereka tak lagi percaya kepada ilmuawan dalam meneliti ancaman bahaya modernitas itu. Memang Beck sangat keras mengecam ilmuwan karena peran mereka dalam menciptakan dan memlihara masyarakat beresiko; “ilmu telah menjadi pelindung kontaminasi global terhadap penduduk dan sumber daya alam. Tak berlebih-lebihan bila dikatakan bahwa dalam cara mereka menanggulangi risiko di berbagai kawasan, ilmu telah menghambur-hamburkan dengan sia-sia reputasi historisnya demi rasionalitas” (1992:70)[12]
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

a. Preventif.
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.


PENUTUP

Ehma Ainun Nadjib mengatakan bahwa yang banyak di Indonesia adalah penguasa dan bukan pemimpin. Dengan kata lain, setidaknya yang banyak mengemuka, jenis pemimpin yang banyak beredar sekarang adalah pemimpin yang lebih banyak menonjolkan kekuasaannya ketimbang mendemonstrasikan keunggulan kepemimpinannya. Dengan demikian, yang kemudian muncul adalah pemimpin-pemimpin yang sangat tidak ideal, tidak amanah alias khianat, mementingkan diri sendiri dan kelakuannya tidak jujur, tidak fathanah, dan tidak bisa dipercaya. Akibatnya, yang lahir dari jenis-jenis pemimpin macam ini adalah fenomena yang sekarang, tekrnal dengan sebutan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Fenomena KKN hanya mungkin terjadi kalau para pemimpin, dari hampir semua level, dari presiden sampai kepala desa tidak amanah, mementingkan diri sendiri, dan tidak bertanggung jawab. Ujung-ujungnya sudah bisa ditebak, yakni merebak dan suburnya fenomena KKN tadi.[13]

DAFTAR PUSTAKA

George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007Teori Sosiologi Modern. jakarta: Prenada Media Group.
Graham C. Konloch. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia Bandung.
Kartini Kartono. 2007. Patalogi Sosial. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Paul B. Horton dan Chester. 1984. Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Zainal Abidin dan Agus Ahmad Safe’i. 2003. Sosiosophologi, Sosiologi Islam Berbasis Hikmah. Bandung: Pustaka Setia.
Erika Revida. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya. Online (Avaible): Http://Google.Com/Download/ Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya. diakses pada tanggal 24 Desember 2010.
Anonimus. Makalah Koorupsi di Indonesia. online (avaible): http://intl.feedfury.com/content/30095993-makalah-korupsi-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 24 Desember 2010.



[1] Paul B. Horton dan Chester, Sosiologi Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal. 50.
[2] Graham C. Konloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2005), hal. 27-28.
[3] Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 89.
[4] Erika Revida, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, Online (Avaible): Http://Google.Com/Download/ Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya, diakses pada tanggal 24 Desember 2010.
[5] Kartini Kartono, Patalogi Sosial, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 92-93.
[6] Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 93-94.
[7] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 560.
[8] Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 95-100.
[9] [9] Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 106.
[10] Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 90.
[11] Anonimus, Makalah Koorupsi di Indonesia, online (avaible): http://intl.feedfury.com/content/30095993-makalah-korupsi-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 24 Desember 2010.
[12] George Ritzer George Ritzer dan Douglas J. Goodman, OP.Cit., hal. 564.
[13] Zainal Abidin dan Agus Ahmad Safe’i, Sosiosophologi, Sosiologi Islam Berbasis Hikmah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal. 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar