Oleh: Rabian
Syahbana
Pemerhati
Agama dan Sosial
Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai
ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan
bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra di
kalangan penganut Islam di Indonesia. Walaupun dianggap bukan istilah baru,
istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas
Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, NU. Nahdlatul Ulama (NU) baru
saja menggelar Muktamar ke-33 tahun
di Jombang, Jawa Timur. Gelaran yang sudah dimulai sejak 1 Agustus hingga 5
Agustus 2015 itu mengusung tema utama “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Tentu saja, Konsep Islam Nusantara ini mendapatkan
banyak tanggapan dan reaksi dari kalangan tokoh dan masyarakat terlebih para
ulama yang selalu mendakwahkan Islam.
Sejarah menyebutkan Masuknya agama Islam ke Nusantara (Indonesia)
pada abad 6 akhir dibawa oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau Pase
Pertama, telah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada masyrakat, budaya
dan pemerintahan. Perubahan dan
Perkebangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam. Konsep Islam Nusantara belakangan
nyaring digaungkan. Di mana konsep tersebut merupakan Islam khas ala Indonesia
yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal,
budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara ini
pun menunjukkan adanya kearifan lokal yang tidak melanggar ajaran Islam. Presiden Jokowi
beberapa waktu yang lalu juga saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU
di Masjid Istiqlal, menyatakan dukungannya secara terbuka atas model
Islam Nusantara. Ia mengatakan “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang
penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam
yang penuh toleransi,”.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) KH Said Aqil Siradj tidak khawatir potensi perpecahan menyusul konsep Islam
Nusantara yang digaungkannya. Dia menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran atau
sekte baru dalam Islam sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Kiai Said,
konsep itu merupakan pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya
nusantara. Ia menjelaskan, umat Islam yang berada di
Indonesia sangat dekat dengan budaya di tempat mereka tinggal dan inilah yang
menjadi landasan munculnya konsep Islam Nusantara. Dalam konsep tersebut kata dia, menggambarkan umat Islam
Indonesia yang menyatu dengan budaya hasil kreasi masyarakat yang tidak
bertentangan dengan syariat Islam. "Kita harus menyatu dengan budaya itu, selama budaya itu baik dan
tidak bertentangan itu semakin membuat indah Islam, kita tidak boleh menentang
atau melawannya. Terkecuali budaya yang bertentangan dengan syariat, seperti
zinah, berjudi, mabuk dan lainnya," terang Kiai Said beberapa waktu lalu.
Menanggapi tentang konsep Islam Nusantara,
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Ridwan berpendapat, konsep Islam
Nusantara sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, menurutnya, hal itu
justru akan mengecilkan Islam sendiri. Dengan digaungkannya konsep Islam Nusantara malah akan
menghapus jasa Wali Songo dan juru dakwah yang berjasa membawa ajaran Islam
masuk ke Indonesia. Pasalnya, mereka para wali sudah berhasil mengislamkan
nusantara pada saat itu. "Sejak awal dari masa Wali Songo, yang bawa Islam
ke nusantara itu sudah berhasil mengislamkan nusantara. Islam Nusantara itu
berarti menghapus jasa Wali Songo dan juru dakwah yang membawa Islam masuk ke
Indonesia," terangnya. Lebih lanjut, kata dia, jika tetap memaksakan konsep
Islam Nusantara dengan terus disosialisasikan kepada
masyarakat luas, maka sama saja dengan upaya menusantara-kan Islam. Hal itu,
lanjutnya justru berpotensi menimbulkan perpecahan "Sekarang kita mau menusantarakan Islam. Islam
Nusantara kan berarti menusantarakan Islam. Kalau Wali Songo
mengislamkan nusantara. Ini malah mengecilkan Islam. Islam itu rahmatan lil
alamin," tandasnya.
Salah satu yang menolak konsep Islam Nusantara
diantaranya adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Sihab.
Dengan tegas beliau menyatakan bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara) merupakan
paham yang sesat dan menyesatkan, serta bukan dari ajaran Islam, sehingga wajib
ditolak dan dilawan serta diluruskan.
da beberapa sebab konsep Islam Nusantara ditolak antara
lain pertama, menganggap Islam adalah ‘pendatang’ dari Arab bukan agama ‘asli’
Indonesia. Padahal jika kita telusuri sejarahnya Islam adalah agama yang turun
dari langit yang diberikan Allah yang dengan alasannya sendiri, Allah
menurunkan pertama kalinya di negara Arab, takutnya ini akan membuat rasis dan
fasis yang dapat melahirkan sifat anti Arab. Kedua, Islam yang disebut sebagai
‘pendatang’ harus tunduk dan patuh terhadap budaya setempat. Tentu itu akan
membuat Islam seperti agama yang lebih lemah dari kebiasaan, sekalipun agama
tersebut dari yang Maha Asal. Ketiga, beranggapan bahwa Islam yang ada di
Indonesia adalah ‘Islam Arab’ sehingga takutnya budaya di nusantara terancam.
Dan itu seakan-akan membuat kita boleh tidak melakukan semua tuntunan yang ada
di dalam Islam. Keempat, menganggap jilbab bukanlah ajaran Islam tapi budaya,
padahal jika kita buka sejarah di zaman jahiliyah sebelum Islam datang, para
wanita di Arab tidak kenal jilbab karena disana para wanitanya suka memakai
pakaian yang mengumbar aurat dan pamer kecantikan serta ada tradisi tari perut
yang membuka puser dan paha. Kelima, ucapan salam “Assalamu’alaikum” adalah
bahasa Arab jadi jika mau bernuansa Nusantara diganti dengan “salam sejahtera”,
padahal sekali lagi jika kita melihat sejarah dulu sebelum ada Islam salam
orang Arab adalah “wa shobaahaah”, bukan “Assalaamu‘alaikum”. Ketujuh,
tilawah/membaca Al-Qur’an tidak perlu lagi dengan langgam Arab tapi diganti
dengan lagam Nusantara seperti langgam Jawa dan Sunda dan tentu saja ini sangat
dikhawatirkan karena bahasa Arab dianggap seperti bahasa asing yang asing. Dan
yang paling terakhir yaitu yang kedelapan adalah membaca Al-Qur’an tidak mesti
bahasa Arab tapi cukup baca terjemahannya saja, agar umat Islam Indonesia bisa
langsung menyimak dan memahami makna dan arti ayat-ayat yang dibaca. Padahal
ruh dari jiwa Islam itu sendiri adalah Al-Qur’an jika membacanya dengan bahasa
lain selain Arab apa bedanya dengan membaca Al-Qur’an dengan membaca koran.
Malahan yang lebih anehnya
lagi dalam konsep Islam Nusantara adalah menolak istilah-istilah yang diambil
dari bahasa Arab, lalu menolak penamaan anak dengan nama-nama Islam yang
diambil dari bahasa Arab bahkan ada rumor yang mengatakan mengkafani jenazah
tidak perlu pakai kain kafan melainkan kain batik agar lebih bernuansa
Nusantara.
Saat menelusuri sejarah bagaimana Islam pertama kali di
Arab kita dapat menemukan bahwa Islam berhasil menghilangkan adat-adat Arab yang
buruk menjadi lebih manusiawi antara lain, pertama Al-qimar(judi), atau yang
lazim dikenal dengan istilah “al-maysir”. Kedua, Menenggak khamr dan
berkumpul-kumpul untuk minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan
harganya. Ketiga, Nikah istibdha’, jika istri dari salah seorang lelaki di
antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta
paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita
tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang
memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si
lelaki yang menyetubuhinya tadi. Keempat, Mengubur hidup-hidup anak perempuan.
Kelima, Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan. Keenam, Wanita
merdeka menjadi teman dekat lelaki. Ketujuh, Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Kedelapan, Saling
menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan merampas harta. Suku
yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya.
Azyumardi Azra, Doktor lulusan Columbia University, Amerika Serikat,
menyebutkan
cara pandang ‘normatif dan idealistis atas Islam’ itu sebagai ‘tidak historis’. Lebih lanjut Azyumardi menjelaskan, model Islam
Nusantara itu bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah
Nusantara yang disebutnya melalui proses vernakularisasi. Kedatangan
Islam ke wilayah Nusantara melalui proses pembahasaan dan pribumisasi sehingga
Islam menjadi tertanam dalam budaya Indonesia. Vernakularisasi itu adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari
Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan
tentu saja bahasa Indonesia.
Dibalik pro kontra tentang konsep Islam Nusantara yang
saat ini digaungkan, kita sebagai umat Islam diharapkan lebih peka dan pintar
dalam mengambil sikap. Jangan mudah terpengaruh dengan perkataan atau hasutan
orang yang yang belum tentu benar. Untuk lebih bisa membantengi diri kita
dengan agama tentu saja dengan belajar lebih banyak lagi. Dan jika kita memilih
agama kita adalah Islam maka pahamilah Islam secara kaffah. Islam secara kaffah
maknanya adalah Islam secara menyeluruh, yang Allah SWT perintahkan dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 208 yang terjemahannya:”Wahai orang-orang yang beriman,
masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian
mengikuti jejak-jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan adalah musuh besar
bagi kalian”.
Jika ada kebaikan dalam konsep Islam Nusantara bagi umat
Islam di Indonesia maka takkan ada masalah jika konsep tersebut diterapkan tapi
jika membuat perpecahan maka konsep tersebut harus kita tolak. Jangan sampai
kedepannya nanti akan ada pengotakan konsep-konsep Islam yang lain seperti
Islam Sumatera, Islam Jawa, Islam Kalimantan, dan konsep-konsep Islam yang
membuat Islam yang berbeda-beda di tempat yang lain. Karena bagaimanapun Islam
hanya satu dan sumbernya hanya Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar