Jumat, 04 September 2015

Opini: Pro Kontra Islam Nusantara

Oleh: Rabian Syahbana
Pemerhati Agama dan Sosial

Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia. Walaupun dianggap bukan istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, NU. Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar Muktamar ke-33 tahun di Jombang, Jawa Timur. Gelaran yang sudah dimulai sejak 1 Agustus hingga 5 Agustus 2015 itu mengusung tema utamaMeneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Tentu saja, Konsep Islam Nusantara ini mendapatkan banyak tanggapan dan reaksi dari kalangan tokoh dan masyarakat terlebih para ulama yang selalu mendakwahkan Islam.
Sejarah menyebutkan Masuknya agama Islam ke Nusantara (Indonesia) pada abad 6 akhir dibawa oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau Pase Pertama, telah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada masyrakat, budaya dan pemerintahan. Perubahan dan Perkebangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Konsep Islam Nusantara belakangan nyaring digaungkan. Di mana konsep tersebut merupakan Islam khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara ini pun menunjukkan adanya kearifan lokal yang tidak melanggar ajaran Islam. Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu juga saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal,  menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara. Ia mengatakan “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi,”.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj tidak khawatir potensi perpecahan menyusul konsep Islam Nusantara yang digaungkannya. Dia menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran atau sekte baru dalam Islam sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Kiai Said, konsep itu merupakan pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Ia menjelaskan, umat Islam yang berada di Indonesia sangat dekat dengan budaya di tempat mereka tinggal dan inilah yang menjadi landasan munculnya konsep Islam Nusantara. Dalam konsep tersebut kata dia, menggambarkan umat Islam Indonesia yang menyatu dengan budaya hasil kreasi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. "Kita harus menyatu dengan budaya itu, selama budaya itu baik dan tidak bertentangan itu semakin membuat indah Islam, kita tidak boleh menentang atau melawannya. Terkecuali budaya yang bertentangan dengan syariat, seperti zinah, berjudi, mabuk dan lainnya," terang Kiai Said beberapa waktu lalu.
Menanggapi tentang konsep Islam Nusantara, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Ridwan berpendapat, konsep Islam Nusantara sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, menurutnya, hal itu justru akan mengecilkan Islam sendiri. Dengan digaungkannya konsep Islam Nusantara malah akan menghapus jasa Wali Songo dan juru dakwah yang berjasa membawa ajaran Islam masuk ke Indonesia. Pasalnya, mereka para wali sudah berhasil mengislamkan nusantara pada saat itu. "Sejak awal dari masa Wali Songo, yang bawa Islam ke nusantara itu sudah berhasil mengislamkan nusantara. Islam Nusantara itu berarti menghapus jasa Wali Songo dan juru dakwah yang membawa Islam masuk ke Indonesia," terangnya. Lebih lanjut, kata dia, jika tetap memaksakan konsep Islam Nusantara dengan terus disosialisasikan kepada masyarakat luas, maka sama saja dengan upaya menusantara-kan Islam. Hal itu, lanjutnya justru berpotensi menimbulkan perpecahan "Sekarang kita mau menusantarakan Islam. Islam Nusantara kan berarti menusantarakan Islam. Kalau Wali Songo mengislamkan nusantara. Ini malah mengecilkan Islam. Islam itu rahmatan lil alamin," tandasnya.
Salah satu yang menolak konsep Islam Nusantara diantaranya adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Sihab. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara) merupakan paham yang sesat dan menyesatkan, serta bukan dari ajaran Islam, sehingga wajib ditolak dan dilawan serta diluruskan.
da beberapa sebab konsep Islam Nusantara ditolak antara lain pertama, menganggap Islam adalah ‘pendatang’ dari Arab bukan agama ‘asli’ Indonesia. Padahal jika kita telusuri sejarahnya Islam adalah agama yang turun dari langit yang diberikan Allah yang dengan alasannya sendiri, Allah menurunkan pertama kalinya di negara Arab, takutnya ini akan membuat rasis dan fasis yang dapat melahirkan sifat anti Arab. Kedua, Islam yang disebut sebagai ‘pendatang’ harus tunduk dan patuh terhadap budaya setempat. Tentu itu akan membuat Islam seperti agama yang lebih lemah dari kebiasaan, sekalipun agama tersebut dari yang Maha Asal. Ketiga, beranggapan bahwa Islam yang ada di Indonesia adalah ‘Islam Arab’ sehingga takutnya budaya di nusantara terancam. Dan itu seakan-akan membuat kita boleh tidak melakukan semua tuntunan yang ada di dalam Islam. Keempat, menganggap jilbab bukanlah ajaran Islam tapi budaya, padahal jika kita buka sejarah di zaman jahiliyah sebelum Islam datang, para wanita di Arab tidak kenal jilbab karena disana para wanitanya suka memakai pakaian yang mengumbar aurat dan pamer kecantikan serta ada tradisi tari perut yang membuka puser dan paha. Kelima, ucapan salam “Assalamu’alaikum” adalah bahasa Arab jadi jika mau bernuansa Nusantara diganti dengan “salam sejahtera”, padahal sekali lagi jika kita melihat sejarah dulu sebelum ada Islam salam orang Arab adalah “wa shobaahaah”, bukan “Assalaamu‘alaikum”. Ketujuh, tilawah/membaca Al-Qur’an tidak perlu lagi dengan langgam Arab tapi diganti dengan lagam Nusantara seperti langgam Jawa dan Sunda dan tentu saja ini sangat dikhawatirkan karena bahasa Arab dianggap seperti bahasa asing yang asing. Dan yang paling terakhir yaitu yang kedelapan adalah membaca Al-Qur’an tidak mesti bahasa Arab tapi cukup baca terjemahannya saja, agar umat Islam Indonesia bisa langsung menyimak dan memahami makna dan arti ayat-ayat yang dibaca. Padahal ruh dari jiwa Islam itu sendiri adalah Al-Qur’an jika membacanya dengan bahasa lain selain Arab apa bedanya dengan membaca Al-Qur’an dengan membaca koran.
            Malahan yang lebih anehnya lagi dalam konsep Islam Nusantara adalah menolak istilah-istilah yang diambil dari bahasa Arab, lalu menolak penamaan anak dengan nama-nama Islam yang diambil dari bahasa Arab bahkan ada rumor yang mengatakan mengkafani jenazah tidak perlu pakai kain kafan melainkan kain batik agar lebih bernuansa Nusantara.
Saat menelusuri sejarah bagaimana Islam pertama kali di Arab kita dapat menemukan bahwa Islam berhasil menghilangkan adat-adat Arab yang buruk menjadi lebih manusiawi antara lain, pertama Al-qimar(judi), atau yang lazim dikenal dengan istilah “al-maysir”. Kedua, Menenggak khamr dan berkumpul-kumpul untuk minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan harganya. Ketiga, Nikah istibdha’, jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi. Keempat, Mengubur hidup-hidup anak perempuan. Kelima, Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan. Keenam, Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki. Ketujuh, Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Kedelapan, Saling menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan merampas harta. Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya.
Azyumardi Azra, Doktor lulusan Columbia University, Amerika Serikat, menyebutkan cara pandang normatif dan idealistis atas Islam itu sebagai tidak historis. Lebih lanjut Azyumardi menjelaskan, model Islam Nusantara itu bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah Nusantara yang disebutnya melalui proses vernakularisasi. Kedatangan Islam ke wilayah Nusantara melalui proses pembahasaan dan pribumisasi sehingga Islam menjadi tertanam dalam budaya Indonesia. Vernakularisasi itu adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia.
Dibalik pro kontra tentang konsep Islam Nusantara yang saat ini digaungkan, kita sebagai umat Islam diharapkan lebih peka dan pintar dalam mengambil sikap. Jangan mudah terpengaruh dengan perkataan atau hasutan orang yang yang belum tentu benar. Untuk lebih bisa membantengi diri kita dengan agama tentu saja dengan belajar lebih banyak lagi. Dan jika kita memilih agama kita adalah Islam maka pahamilah Islam secara kaffah. Islam secara kaffah maknanya adalah Islam secara menyeluruh, yang Allah SWT perintahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208 yang terjemahannya:”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan adalah musuh besar bagi kalian”.

Jika ada kebaikan dalam konsep Islam Nusantara bagi umat Islam di Indonesia maka takkan ada masalah jika konsep tersebut diterapkan tapi jika membuat perpecahan maka konsep tersebut harus kita tolak. Jangan sampai kedepannya nanti akan ada pengotakan konsep-konsep Islam yang lain seperti Islam Sumatera, Islam Jawa, Islam Kalimantan, dan konsep-konsep Islam yang membuat Islam yang berbeda-beda di tempat yang lain. Karena bagaimanapun Islam hanya satu dan sumbernya hanya Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar