Selasa, 04 Februari 2014

Aku Hanya Butuh Perhatian

        
Aku tak ingat pertama kali ku mengetahuinya, tapi sudah dari dulu aku tinggal di panti asuhan ini. Dari kabar angin aku dibuang oleh orang yang melahirkanku ke sebuah tempat sampah. Untung ada orang lewat dan menyelamatkanku, kalau tidak mungkin sekarang aku sudah di alam baka sana.
            Waktu masih kecil aku tidak begitu peduli memikirkan kenapa aku dibuang, aku terlalu sibuk menikmati masa kecilku dengan bermain. Hari demi hari berlalu hingga akhirnya aku mulai bisa berpikir dewasa, pikiran itu datang saat aku menginjak kelas dua SMP. Saat itu pembagian raport dan seperti biasa pembimbing kami di panti asuhan yang akan mengambil raport kami. Sedangkan anak lain yang bukan dari panti asuhan raportnya diambil oleh kedua orangtua mereka.
            Dadaku sakit, ada rasa cemburu saat ku melihat tingkah teman-teman yang ada orangtuanya. Mereka bermanja-manja dengan orangtua mereka karena mendapatkan nilai yang bagus. Mereka dengan mudahnya meminta sesuatu sebagai hadiah karena keberhasilan mereka. Sedangkanku yang telah berhasil juara satu umum hanya mendapatkan kata “selamat” dari pembimbingku. Aku miris, aku seperti tidak diperhatikan, aku merasa... kecewa.
            Memang aku tinggal di panti asuhan jadi aku tak bisa mengharapkan lebih tapi aku berbeda dengan teman-teman di panti. Mereka tinggal disini dikarenakan orangtua mereka meninggal, sedangkan aku dibuang. Di luar sana ada kedua orangtuaku tapi aku tak tahu kabar mereka dan kenapa aku tidak hidup dengan mereka. Apa memang dari awal aku orang yang tidak dipedulikan.
Aku butuh perhatian.
Suatu hari aku melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di meja, karena judulnya menarik aku mengambil dan membacanya. Aku lupa bertanya ataupun meminta izin kepada orang yang mempunyai buku itu lalu terjadilah hal yang menurutku heboh. Seisi panti asuhan sibuk mencari buku tersebut, buku yang hilang tersebut mendapatkan perhatian dari banyak orang. Hebat.. pikirku buku saja dapat perhatian apalagi orang yang tahu dimana buku tersebut.
Aku pun mengaku dan tahukah apa yang ku terima, sebuah hinaan. Hinaan bertubi-tubi ku terima, hinaan kata seperti anak tidak tahu terima kasih sampai dengan anak buangan. Hari itu rasanya aku ingin menangis dan teriak sejadi-jadinya, tapi itu tidak ku lakukan. Aku memendam perasaan sakit itu. Mulai hari itu juga, seisi panti membenciku dan aku juga membenci mereka.
Pembimbing kami di panti asuhan teryata tak membenciku, ia masih berbicara dan menasihatiku. Bertanya-tanya kenapa aku mengambil buku itu, aku pun menjawabnya. Dia mengerti dan mulai menjelaskan ke seluruh panti asuhan agar memaafkanku karena kecerobohanku. Hari demi hari kehidupanku mulai membaik di panti asuhan, lalu terjadilah satu peristiwa lagi.
Ada barang lagi yang hilang di panti asuhan yaitu pena peninggalan terakhir dari orangtua salah satu anak panti dan aku dicurigai sebagai pencurinya. Aku pernah sekali melihat pena itu, pena itu sangat cantik, kulitnya bewarna emas dan ada tulisan nama orangtua anak panti itu. Aku bersumpah aku tidak mencurinya tapi banyak yang tidak percaya padaku. Malam itu aku mengurung di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Pembimbing menemaniku malam itu dan menunggu kisahku. Aku menjelaskannya dengan terbata-bata sambil menangis, untungnya dia mempercayaiku.
Seminggu berlalu, saat itu aku tak sengaja menjatuhkan tasku sebelum berangkat ke sekolah. Buku dan barang-barangku di dalam tas berhamburan, tapi ada yang lain. Diantara tumpukan barangku yang berhamburan ada barang yang bukan milikku. Barang itu adalah pena, pena peninggalan terakhir yang hilang waktu itu. Aku tak tahu kenapa pena itu ada di dalam tasku.
            Salah satu anak yang melihat pena itu saat tasku terjatuh berteriak. “Maling... maling... ternyata dia memang malingnya...” aku panik, aku menyangkalnya. Seisi panti mengelilingiku dari tampang mereka terlihat jelas bahwa mereka menyalahkanku. Menyalahkanku padahal aku sendiri tak tahu kenapa pena itu di tasku. Pembimbing kami datang, aku meminta pertolongan kepadanya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, aku ditampar.
            Aku kini dibenci, tak ada yang peduli denganku. Bahkan satu-satunya orang yang ku sangka peduli denganku membenciku. Besoknya hidup di panti asuhan sama seperti tinggal di tempat asing bagiku, tak ada yang mau menegurku. Aku pun muak lalu memutuskan untuk kabur.
            Di luar panti aku bingung, bingung gimana bisa makan, bisa mandi, bisa tidur... Tapi jika aku kembali ke panti pun percuma, tak kan ada yang peduli denganku. Aku bertahan hidup dengan apa yang ku bisa, pertama ku menunggu sisa makanan di restoran tapi lama-lama aku muak. Aku mau makan makanan yang layak, untuk itu akupun mulai berani mencuri.
            Beberapa bulan berlalu, aku hidup dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku tak pernah kelaparan karna aku selalu berhasil mencuri apa yang ku inginkan. Dari dompet sampai motor telah berhasil ku curi. Tapi benar kata pepatah sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Aku tertangkap dan dipenjara, tapi karena umurku baru 15 tahun termasuk kategori anak-anak di bawah umur aku hanya dipenjara 3 bulan.
            Aku mau tobat dan berniat kembali ke panti asuhan, tapi lagi-lagi bukan kata selamat datang yang ku terima melainkan caci maki. Malahan lebih parah dikarenakan beberapa waktu lalu fotoku yang tertangkap masuk koran. Seisi panti menolak kedatanganku, aku kini benar-benar sudah di cap sebagai pencuri.
            Aku kembali hidup di jalanan, aku berusaha mencari pekerjaan yang halal tapi itu sangat sulit ku dapatkan. Walaupun ada itu tak cukup untuk ku tetap bisa makan. Akupun kembali ke profesi lamaku yaitu mencuri dan sekali lagi aku ditangkap. Kali ini aku dihukum 6 bulan penjara.
            Waktu dibebaskan akupun kembali bingung mau apa, hidup seakan-akan hanya mempermainkanku. Aku pun kembali mencuri lagi. Seperti yang di duga sebelumnya aku kembali lagi ditangkap. Saat itulah ku sadar, lebih enak hidup di penjara. Disana ada teman yang senasib denganku. Orang yang terpaksa melakukan kejahatan karena tak adanya perhatian dari orang lain di luar sana. Aku lebih baik hidup di penjara daripada bebas tapi tak dapat perhatian, tak pernah dapat apa yang namanya kasih sayang. Kalau di penjara aku tak perlu memikirkan perut lapar karna telah disediakan, walau kadang kala makanan itu tak layak. Aku lebih merasa aman di penjara karena tak ada yang memukuliku karna bukan kesalahanku. Aku lebih baik mati dipenjara karena ku yakin nanti para sipir disini akan memakamkanku dengan layak. Daripada di luar sana, mungkin saat ku mati bukannya pemakaman yang ku dapatkan tapi bisa jadi aku di buang seperti bangkai tikus. Dibuang di di tempat sampah, sama seperti waktu pertama kali aku lahir.

-RaSyBa-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar