Oleh: Rabian Syahbana
Blog post
ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor
di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan
Nulisbuku.com
Aku ingat
betul kapan ia menjadi teman perjalananku.Waktu itu aku baru masuk kelas 12 SMA,
awal pertama kami bertemu ketika aku baru pulang sekolah. Jarak antara rumah
dan sekolah tidaklah begitu jauh, palingan hanya sekitar 250 meter jadi cukup dengan
berjalan kaki. Sesampai di rumah, aku melihatnya terpakir rapi di depan. Plat motornya
masih berbentuk kardus dengan tulisan ‘test’ tercetak disana. Warna merahnya
terpancar bersama dengan cahaya matahari. Aku tidak begitu mengubrisnya, maklum
ku pikir itu motor kerabat yang sedang bertamu.
Ayah
tersenyum saat melihatku, “itu motormu Al”. “apa?” tanyaku ulang memastikan apa
yang ayahku katakan tadi. “itu motor yang didepan rumah punyamu Aldi”. “serius...!!”
aku masih tidak percaya. Ayah memberikan sebuah kunci bergantung mainan bola
biliard kepadaku. “pakailah.. saat ingin berpergian, sekalian jangan lupa
menghantar kue pesanan ibumu”. Hatiku tercekat oleh rasa bahagia yang bercampur
haru. Kalau aku tak menahannnya mungkin air mata sudah berlinang membasahi
pipiku.
Sebuah
motor merupakan barang yang termasuk sulit dibeli jika melihat kondisi ekonomi
keluarga saat ini. Kami memang memiliki sebuah motor sebelumnya, itupun warisan
dari kakek. Sebuah motor yang usianya jauh lebih tua dari usiaku saat ini. Tapi
sekarang, keluarga kami mempunyai sebuah motor baru bewarna merah menyala dan menjadi
motor terbagus satu-satunya dalam sejarah keluarga kami. Dan aku heran, kenapa
motor itu untukku? Bukankah ayah dan ibuku lebih membutuhkannya.