Jumat, 30 Oktober 2015

Aku dan Sepeda Motorku

Oleh: Rabian Syahbana
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Aku ingat betul kapan ia menjadi teman perjalananku.Waktu itu aku baru masuk kelas 12 SMA, awal pertama kami bertemu ketika aku baru pulang sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah tidaklah begitu jauh, palingan hanya sekitar 250 meter jadi cukup dengan berjalan kaki. Sesampai di rumah, aku melihatnya terpakir rapi di depan. Plat motornya masih berbentuk kardus dengan tulisan ‘test’ tercetak disana. Warna merahnya terpancar bersama dengan cahaya matahari. Aku tidak begitu mengubrisnya, maklum ku pikir itu motor kerabat yang sedang bertamu.

Ayah tersenyum saat melihatku, “itu motormu Al”. “apa?” tanyaku ulang memastikan apa yang ayahku katakan tadi. “itu motor yang didepan rumah punyamu Aldi”. “serius...!!” aku masih tidak percaya. Ayah memberikan sebuah kunci bergantung mainan bola biliard kepadaku. “pakailah.. saat ingin berpergian, sekalian jangan lupa menghantar kue pesanan ibumu”. Hatiku tercekat oleh rasa bahagia yang bercampur haru. Kalau aku tak menahannnya   mungkin air mata sudah berlinang membasahi pipiku.

Sebuah motor merupakan barang yang termasuk sulit dibeli jika melihat kondisi ekonomi keluarga saat ini. Kami memang memiliki sebuah motor sebelumnya, itupun warisan dari kakek. Sebuah motor yang usianya jauh lebih tua dari usiaku saat ini. Tapi sekarang, keluarga kami mempunyai sebuah motor baru bewarna merah menyala dan menjadi motor terbagus satu-satunya dalam sejarah keluarga kami. Dan aku heran, kenapa motor itu untukku? Bukankah ayah dan ibuku lebih membutuhkannya.

“motor itu masih kredit Al, jadi tolong dijaga ya”, yap.. satu-satunya yang paling masuk akal bagiku untuk mendapatkan sebuah motor baru dengan cara kredit. “oke yah” jawabku sambil tersenyum, masih dengan menyembunyikan rasa haru.
 “nah.. silahkan coba motor barumu”. Aku mengangguk dan langsung menuju motorku. Tampak begitu megah motor itu bila dibandingkan dengan motor butut kami. Umurku sekarang sudah 17 tahun, tepatnya dua bulan yang lalu. Salah satu hal pertama yang diajarkan oleh ayahku adalah menggunakan motor. Motor lama keluargaku lah yang menjadi saksi bisu bagaimana aku belajar naik motor. Dari yang ngengkol tidak hidup-hidup sampai masuk ke bandar telah ku rasakan semua.

Ayahku termasuk orang yang taat dengan aturan, walaupun aku sudah bisa menggunakan motor, ayah belum membolehkanku untuk ke jalan raya sebelum aku resmi memiliki SIM. Ibuku adalah seorang penjual kue, setiap pagi kami menitipkan kue ke beberapa penjual susu kacang kedelai. Aku bertugas memegangi tempat kue biar tidak jatuh saat ayahku mengendarai motor. Saat aku sudah bisa menggunakan motor dan memiliki SIM, tugas ayah otomatis dialihkan padaku. Kini tugas Ayah menghitung jumlah kue dan memasukkannya ke keranjang. Setiap pagi, Aku dan Adikku dengan motor tua yang menghantar kue itu baik jarak dekat maupun jarak jauh, tentunya selalu menggunakan helm demi keselamatan.

Aku menaiki motor baru bewarna merah itu, ku masukkan kuncinya dan menstarternya. Bunyinya halus, jauh berbeda dengan motor tua kami. Aku memakai helm dan mulai melaju  diatas aspal dengan  mulusnya. Aku merasa begitu  gagah  saat mengendarainya.

Kini telah 10 tahun berlalu sejak awal kebersamaan dengan motorku, tentu itu bukan umur yang singkat untuk berteman. Aku pernah membawanya ke luar daerah, melewati puluhan desa, hutan belantara dan anak-anak sungai. Setiap sebulan sekali aku menservice motorku agar selalu dalam kondisi prima. Aku tak mau jika hanya bisa menggunakannya tapi tidak bisa merawatnya. Perjalanan yang paling ku ingat dengan motor kesayanganku adalah saat aku berkunjung ke rumah pujaan hati untuk melamar.

Jarak yang ku tempuh tidaklah dekat, jarak rumahku dengan rumah calon istriku sejauh 75 KM. Aku berangkat sendirian, dengan menggunakan jaket, sarung tangan, helm standar, dan sepatu. Sebelum berangkat aku telah mengecek kondisi motorku, berkali-kali malahan. Dengan jarak tempuh yang begitu jauh, mengharuskanku dan motorku dalam kondisi terbaik. Aku meniatkan dalam hati bahwa perjalan yang ku tempuh ini merupakan sesuatu yang akan mengubah masa depanku ke arah yang lebih baik. Masa depan dengan seorang wanita yang nanti akan menjadi ibu dari anak-anakku. Aku pamit dengan ayah dan ibuku, sekalian untuk meminta restu dari mereka. Jika kunjungan lamaran pertamaku diterima, maka minggu depan aku bersama keluargaku akan melamar secara kekeluargaan ke rumah pujaan hati.

Selama perjalanan aku berusaha untuk selalu fokus pada rambu-rambu lalu lintas yang telah ku hafal untuk memudahkan pejalanan. Yap.. bila kalian memiliki orang tua seperti ayahku yang selalu menekankan aturan dan kedisiplinan. Tentu saja sebagai anak yang berbakti harus menaati perintah orang tua kan dan hei, ini juga demi kebaikan dan keselamatan kok jadi kenapa tidak?

Baru sepertiga perjalan yang kutempuh, tampak didepan ada razia polisi, banyak pengendara motor lain berbalik arah menghindar. Tentu saja tidak denganku, karena aku yakin telah membawa semua surat-menyurat seperti SIM dan STNK, lengkap dengan atribut keselamatan berkendara maka jelas bisa terus melaju  tanpa ada masalah.

Beberapa menit berlalu, setelah melewati kawasan razia,
“GGUUBBBRAAAKKK....!!!!!”
Aku terlempar dan terjatuh dari motorku, terguling-guling beberapa kali. Sebuah mobil truk angkutan kelapa sawit yang melaju kencang dari belakang telah menyerempet ku. Beberapa menit aku terbaring dipinggir  jalan. Sayup terdengar suara gaduh dari orang yang mengelilingiku. Semua terasa seperti mimpi. Beberapa orang membantu ku untuk bangkit “bapak tidak apa-apa??’ tanya salah satu dari mereka kepadaku, yang kujawab hanya dengan tatapan kosong seperti orang yang sedang linglung. “bawa aja dulu kerumah warga sebentar, kasih air gula. Biar tenang dulu dia” usul dari salah satu dari sekian banyak orang yang mengelilingiku.

Aku dipapah menuju rumah warga tak jauh dari tempat kejadian perkara. Setelah meneguk habis satu gelas air gula aku bersandar pada sebuah sofa. Perlahan aku mulai menyadari apa yang barusan terjadi. Ya, sebuah truk yang melaju kencang dari arah belakang  menyerempetku, aku ingat, sekilas aku melihatnya dari spion sebelum ia menyerempet dan melemparku kepinggir jalan.

Aku mendengus kesal, antara marah dan geram bercampur aduk. Rasa ngilu dan nyeri mulai terasa disekujur tubuhku. Tampak dibeberapa bagian dari jaket dan celanaku robek, namun beruntung tidak ada luka yang berarti. Hanya memar dan lecet-lecet. Aku mencoba bangkit, namun segera seorang bapak-bapak menahanku.

“tidak apa-apa kok pak, Cuma memar dan lecet saja” kucoba menenangkannya agar ia tak terlalu khawatir. “yakin kamu?, lebih baik istirahat dulu nak. Teman bapak lagi ambil mobil, biar bapak antar kamu kerumah sakit dulu, periksa siapa tahu ada luka lain yang lebih parah” ujar sang  bapak  khawatir.
“enggak kok pak, Alhamdulillah...” kembali aku meyakinkannya.

Kemudian sang bapak menceritakan kronologi kejadiannya, bagaimana truk yang melaju  kencang dan ugal-ugalan itu menyerempet ku. Kebetulan bapak itu melihat kejadiannya dari awal sampai akhir. “bapak khawatir sekali tadi nak, melihat bagaimana kamu terlempar. Lihat ni, helm kamu parah begini.” Ujar sang bapak sambil menunjukkan helmku yang rusak berat.

Tenggorokanku tercekat, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi seandainya aku tadi tak memakai helm dan perlengkapan keselamatan lainnya, mungkin nasib kepalaku akan seperti helm itu dan bisa jadi bukan hanya lecet atau memar saja yang mungkin kuderita.

“motor saya bagaimana pak??” dari tadi aku penasaran, bagaimana dengan nasib sohibku yang satu ini. “ada, itu disebelah rumah”. Meski agak tertatih, bergegas aku melihat bagaimana kondisi motor kesayanganku. “Alhamdulillah...” gumamku dalam hati. Ia tak mengalami kerusakan yang cukup berarti. Meski dibeberapa bagian body motor tampak lecet.

Tak lama setelah itu, aku dibawa ke rumah sakit terdekat untuk memeriksa apakah ada luka lain yang lebih serius. Ternyata saat diperiksa memang hanya menderita memar dan lecet biasa. Aku bersyukur kepada Tuhan telah turut ambil bagian menyelamatkan jiwaku.

Dan setelah dari rumah sakit bersama warga yang menyaksikan, kami melapor kejadian ini kepihak kepolisian, semoga sang supir segera diamankan demi kebaikan sesama pengguna jalan. Setelah dari kantor polisi dan merasa kondisi tubuhku kembali bugar, kuputuskan melanjutkan perjalanan yang telah kutempuh, tanggung rasanya pulang kembali.

“serius kamu?, ya udah, dari pada kenapa-kenapa lagi dijalan biar bapak antar.” “wah, malah ngerepotin bapak lagi nih. Gak apa-apa pak, nanti gimana dengan motor saya kalau bapak yang antar saya” jawabku setengah tak ikhlas. “ya udah, kita bawa aja sekalian motor kamu. Biar bapak ambil tali dulu untuk mengikat motor kamu biar aman di bak belakang mobil” sahut sang bapak.

Kehebohan terjadi saat aku sampai dirumah sang calon istriku. Apalagi melihat kondisiku yang tampak babak belur. “udah kondisi kayak gini, masih aja nekat kamu. Kenapa gak nanti saja setelah kamu pulih...”
“yah... terlanjur sudah setengah perjalanan ini. Lagi pula... aku ingin menunjukkan kalau aku serius ingin melamarmu. Apapun yang terjadi, insyaAllah aku kan memperjuanggkan kamu..”
Jawabku dengan memasang senyum dan tampang yang sekeren mungkin. Tampak ia tersipu dan merona. Kurasa... tak perlu kulanjutkan lagi bagaimana lanjutannya bukan, kalian pasti sudah bisa menebak.. hahaha

Yup... seiring berjalannya waktu, kini usiaku dan motorku sudah tidak muda lagi. Sudah banyak motor-motor keluaran terbaru yang menyaingi pancaran warna merahnya. Alhammdulillah.. aku dan istriku juga sudah membeli kendaraan roda empat untuk memudahkan kami, terutama untuk perjalanan jauh terutama setelah kecelakaan waktu itu. Tapi aku takkan meninggalkan seorang teman, seorang teman yang sejak dulu selalu bersama dalam setiap aspal yang dilewati. Teman saat kehidupan masih terasa sulit, walau ia tak se-sehat dulu itu takkan membuatku ingin membuangnya. Ya.. motorku hanyalah mesin tak bernyawa tapi ia adalah kendaraan pertamaku. Saat senggan atau sekedar berkunjung ke tempat saudara, aku tetap menungganginya sambil mengenang masa lalu. Aku berusaha agar ia tetap bersih dengan mencucinya, rutin menservicenya setiap bulannya, aku juga tak pernah luput membayar pajaknya. Akan ku buat ia tetap eksis walau ini bukan lagi jamannya. Karena percaya atau tidak, wallahu a’lam dengan ijin dari Allah dengan bantuan motorku, aku bisa menjadi seperti sekarang. Terima kasih motorku tersayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar