Kamis, 19 Mei 2016

Bukit Mangkol Dalam Bahaya

Oleh: Rabian Syahbana, S.Pd.I
Aktivis Lingkungan Kawan Alam dan
Ketua Alumni Mahasiswa Pecinta Alam STAIN SAS (AMPLAS)

            Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk bersilaturahmi kembali ke salah satu bukit tedekat dari Kota pangkalpinang. Bukit Tersebut adalah Bukit Mangkol yang bisa ditempuh melalui Desa Terak. Silaturahmi yang ku lakukan kesana sekaligus untuk memenuhi rasa penasaranku karna berita yang sempat diberitakan di media massa tentang kerusakan Bukit Mangkol.
            Letak geografis Bukit Mangkol sebenarnya berada di dua desa, yaitu sebelah timur masuk wilayah Desa Terak Kecamatan Simpang Katis dan Sebelah Barat masuk wilayah Desa Air Mesu Kecamatan Pangkalan Baru. Untuk menuju kawasan Bukit Mangkol hanya memerlukan beberapa menit saja dari pusat kota. Dengan ketinggian sekitar 395 meter di atas permukaan air laut, Mangkol masih dikatagorikan bukit walau banyak warga khususnya di Bangka yang memanggilnya Gunung Mangkol.
            Setelah melewati dusun Balai Terak mulai terlihat perubahan yang terjadi di Bukit Mangkol, abrasi di pinggir-pinggir sungai benar-benar mengerikan. Jiwa ini seakan-akan menangis, Bukit Mangkol yang ku kenal dulu berbeda jauh dengan apa yang ku lihat sekarang. Air di bawah Bukit Mangkol tidaklah jernih lagi, banyak lubang camui bertebaran di kaki bukit, jembatan putus dan diganti jembatan sementara dari papan kayu, dan parahnya lagi maraknya pembukaan lahan untuk berkebun di perbukitan Maras.
            Aku bingung, seingatku Bukit Mangkol merupakan hutan konservasi. Yang mana yang namanya hutan konservasi berfungsi untuk menjaga keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Tapi ternyata kenyataannya berbeda, hutan konservasi Bukit Mangkol seperti hutan tak bertuan, hutan yang boleh digunakan untuk apa saja dan oleh siapa saja.
            Padahal di awal masuk kawasan Bukit Mangkol terpampang dengan jelas peringatan dari pihak BKSDA yang menyatakan Bukit Mangkol merupakan lahan konservasi sehingga dilarang melakukan pengrusakan dalam bentuk apapun. Tetapi kenyataannya peringatan tersebut hanya seperti hiasan saja. Ancaman selama 10 tahun dan denda 5 milyar rupiah hanya dianggap angka-angka tanpa makna.
Pepohonan di pinggiran bahkan di puncak perbukitan Mangkol ditebang dan diganti dengan tanaman palawija seperti sahang. Saya sempat bertanya dengan salah satu warga yang memanfaatkan Bukit Mangkol menjadi kebun. Dia mengaku telah lama menanam sahang disana, dia menanam sahang untuk investasi atau tabungan. Dia tahu dilarang memanfaatkan wilayah Bukit Mangkol untuk menanam. Hak milik juga tidak bisa mereka miliki, karena Bukit Mangkol merupakan lahan konservasi maka tidak bisa dibuat surat. Kalau mau berkebun tinggal pilih wilayah mana yang mau dirambah, yang tentu saja harus menebang pepohonan disana dahulu. Akunya sekarang tidak seperti dulu, yang mana dulu masih rutin dilakukannya razia dari pihak berwenang. Malahan kebanyakan dari pembuka lahan membuka kebun hanya untuk mengisi waktu luang dan malahan ada yang sekedar iseng-iseng, mumpung lahannya gratis.
Apa yang terjadi di Bukit Mangkol benar-benar mengerikan, saat saya melihat Bukit Mangkol melalui google map banyak yang gundul, sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan Bukit Maras. Bayangkan saja, kaki bukit dihajar penambang timah dan puncaknya di gunduli diganti kebun sahang, sehingga sekarang membuat Bukit Mangkol menjadi lahan kritis paling kritis. Bagaimana tidak, akibat penambangan dan perkebunan sahang membuat banyak pepohonan disana yang ditebang. Bukit Mangkol menjadi lahan yang rawan longsor, jalan menuju puncak terkena abrasi dan berlubang disana-sini. Selama perjalanan ke puncak sedikitnya ditemukan 3 titik longsor di lereng-lereng bukit. Bagaimana tidak longsor, walaupun sama-sama berdaun hijau, saham tidak memiliki akar yang kuat sebagai penopang tanah.
Sepanjang perjalanan dari awal kaki bukit sampai ke puncak setidaknya ada 72 pondok kebun. Itu yang terlihat, belum pondok-pondok yang masuk ke wilayah dalam bukit Mangkol. Bayangkan satu saja orang yang membuka lahan setengah hektar dan ditanam sahang, apa tidak hancur Bukit Mangkol. Bayangkan saja Bukit Mangkol longsor besar-besaran dan intensitas hujan tinggi. Maka banjir yang lebih parah akan datang tanpa ampun ke arah Pangkalpinang.
Saat semuanya sudah terjadi dan telah tampak kerusakan yang karna ulah kita para manusia, apakah kita hanya bisa diam saja. Apakah kita akan terus diam melihat perlahan-lahan Bukit Mangkol runtuh? Apakah kita hanya diam saja melihat hulu segala aliran air disana hancur dan keruh? Apakah kita hanya bisa diam saja melihat tetangga kita yang tinggal di Pangkalpinang kembali banjir? Apakah kita benar-benar sudah pasrah terhadap apa yang terjadi pada Bukit Mangkol?
Memang semuanya sudah terjadi, tapi tidak ada kata terlambat. Selama Bukit Mangkol masih berdiri tegak, maka kita bisa menyelamatkannya dan membuatnya kembali kokoh seperti dahulu saat kita mengenangnya. Ingat belum pernah ada sejarah sebuah bukit didirikan untuk menjadi patok-patok bumi, karena manusia tidak akan mampu melakukannya. Tapi kalau hanya menemukan bukit bahkan gunung rata dengan tanah, malahan ada yang menjadi lubang banyak contohnya.
Jika kita peduli dan masih mempunyai hati, mari kita mereklamasi lubang-lubang camoi dengan pepohonan rindang. Mari kita hentikan pembukaan hutan Bukit Mangkol dan mengganti tanaman sahang dengan tumbuhan berakar kuat. Mari kita saling bersinergi, baik dari aparat pemerintahan, aparat desa, pecinta alam, bahkan masyarakat pada umumnya untuk menghijaukan kembali Bukit Mangkol. Sehingga Bukit Mangkol yang seharusnya hutan konservasi memang benar berfungsi seperti layaknya hutan konservasi.
Kekayaan singkat dari yang di dapatkan dari Bukit Mangkol dengan merusaknya sebenarnya memberi kerugian jangka panjang, baik kepada manusia lain, bahkan kepada binatang disana. Kita harus bisa menjadi manusia yang mencintai alam bukan memanfaatkan alam. Tanpa pohon maka manusia takkan hidup, karna hanya pohon satu-satunya penghasil oksigen di dunia ini. Jika oksigen tidak ada maka jangan haraplah ada manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar