Jika ada yang mengaku tulisan saya atas nama Fernando, dengan alamat email: saverofernando@gmail.com itu BOHONG BESAR, karena tulisan ini murni punya saya. Terima kasih š
Abstrak
Terorisme tidak ditujukan langsung
pada lawan, tetapi perbuatan teror dilakukan dimana saja dan terhadap siapa
saja. Yang utama, maksud yang ingin disampaikan pelaku teror adalah agar perbuatan
teror tersebut mendapat perhatian khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai
psy-war. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan
sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya
untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang
yang diserang. Tindakan terorisme tidak dapat dipisahkan dengan pandangan
politik yang memiliki relevansi yang
ketat antara Delik Politik, delik kekerasan, dan akhirnya masalah ekstradisi di
antara pelakunya yang dikategorikan sebagai teroris. Terorisme kian jelas
menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis,
motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode
terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror
bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah
merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia. Dalam
menghadapi aksi terorisme diperlukan strategi langkah-langkah pencegahan dengan
melibatkan seluruh komponen bangsa, tanpa meninggalkan penegakan hukum.
Penggunaan Kekuatan Militer dalam rangka Penanggulangan Terorisme bukanlah
sesuatu hal yang tabu apabila ditinjau dari aspek politik domestik, maupun
dalam ketentuan Internasional, apabila kekuatan terorisme sudah mengarah pada
ancaman kedaulatan negara.
Keywords:
Terorisme, Radikalisme, perdamaian dan keamanan.
Introduction
Dalam beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa serangan terorisme
merupakan ancaman yang sangat serius terhadap individu, masyarakat,
Negara, dan masyarakat internasional. Terorisme bukanlah kejahatan biasa
melainkan merupakan kejahatan luar biasa bahkan digolongkan ke dalam kejahatan
terhadap kemanusiaan. Terorisme mempunyai jaringan yang luas dan merupakan
ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional serta merugikan kesejahteraan
masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan
berkesinambungan sehingga hak asasi manusia dapat dilindungi dan dijunjung
tinggi.
Kata “teroris” dan terorisme
berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar
atau menggetarkan. Kata teror juga bias menimbulkan kengerian. Akan tetapi
sampai dengan saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara
universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang
memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban
warga sipil yang tidak berdosa. Terorisme sendiri memiliki sejarah yang
panjang.[1]
Dalam kamus spionase, terorisme
diartikan sebagai: “pengguna kekuatan atau kekerasan yang tidak sah untuk
mengintimidasi, memaksa, melawan dan bahkan membunuh orang, masyarakat,
pemerintah, untuk kepentingan politik atau tujuan sosial lainnya.”[2]
Memasuki abad ke 21, modus operandi
terorisme mulai berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi,
elektronik, transportasi dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kimiawi.
Tragedi 11 September 2001 merupakan bukti konkrit dari perkembangan ini. Dua
pesawat komersial Amerika Serikat menabrak gedung kembar World Trade Center
(WTC), dan salah satu pesawat lagi menabrak Pentagon, gedung pusat pertahanan
Amerika Serikat. Dalam serangan ini ribuan orang meninggal dan luka-luka.
Dunia tidak boleh hanya memerangi
terorisme yang terlihat di permukaan, tetapi juga harus menyentuh akar masalah
dan penyebab utamanya, seperti ketimpangan dan ketidak adilan yang masih
dirasakan oleh banyak kalangan di masyarakat internasional. Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam dunia kriminalpun mengikuti
perkembangan hal ini dibuktikan dengan jenis-jenis kejahatan baru, yang apabila
di tahun 1990-an masih dibicarakan tentang kejahatan komputer, tetapi di tahun
2000-an sudah dibicarakan tentang kejahatan CYBER. ini berarti bahwa hukum
pidana berpacu dengan sangat cepat dengan peraturan-peraturan baru, yang dalam
hal ini berarti pula bahwa asas-asas hukum pidana maupun teori hukum pidana
yang selama ini berlaku akan berubah atau bahkan mungkin tidak dapat digunakan
lagi.
Konvensi internasional terorisme
yang telah diadopsi oleh negara anggota PBB bukan konvensi yang bersifat
komprehensif karena sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional
mengenai definisi terorisme. Perbedaan mengenaidefinisi terorisme terletak pada
pemahaman berbeda-beda tentang aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat untuk menentang penjajahan di suatu negara dan aksi teror oleh
negara maju terhadap masyarakat atau bangsa negara lain dalam memajukan
perdamaian dan keamanan.
Komitmen masyarakat internasional
dalam mencegah dan memberantas kejahatan terorisme sudah disajikan dalam
berbagai konvensi internasional dan resolusi. Dewan Keamanan PBB yang
menegaskan, bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan
keamanan umat manusia, oleh karenanya maka seluruh anggota PBB termasuk
Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang
mengutuk terorisme dan menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk mencegah dan
memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perudang-undangan nasional
yang berkaitan dengan terorisme di negara masing-masing.
Menurut Wiliam D. Purdue (1989),
the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that
has the military advantage. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara
personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari
warga yang tidak puas sampai pada non komformis politik.
Kejahatan terorisme merupakan salah
satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat menakutkan
masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik
di negara maju maupun negara -negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang
dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Terorisme merupakan
kejahatan luar biasa yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan
cara-cara luar biasa karena berbagai hal: Pertama, Terorisme merupakan
perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar
terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk
hidup dan hak asasi untuk bebas dari
rasa takut. Kedua, Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang
cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah. Ketiga, Kemungkinan
digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi
modern. Keempat, Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi
teroris nasional dengan organisasi internasional. Kelima, Kemungkinan kerjasama
antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baik yang
bersifat nasional maupun transnasional. Keenam, Dapat membahayakan perdamaian
dan keamanan internasional. Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang
menjadi lintas negara.
Selain oleh pelaku individual,
terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara
(state terorism). Misalnya, Noam Chomsky menyebut Amerika Serikat ke dalam
kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang
awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut
teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media
menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang
mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati. Hingga kini, makna
terorisme memiliki multi-interpretatif sudut pandangannya, namun demikian meski
terdapat suatu makna yang diferensial, pencegahan terhadap perbuatan terror itu
tetap menjadi perhatian negara-negara, baik bersifat nasional, intrnasional
maupun yang bersifat regional.
Radikalisme kadang kala
diindentikkan dengan Islam. Radikalisme di antara kaum Muslim lebih bersifat
politik dibandingkan bersifat agama. Dalam beberapa kasus, dorongan awal bisa
saja agama, tetapi selanjutnya menjadi sangat politis. Perkembangan politik di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia setelah Perang Dunia II, menjadi faktor
penting berkembangnya radikalisme baru di antara umat Islam. Didorong
kekecewaan terhadap kebijakan militer Indonesia mengenai rasionalisasi
kelompok-kelompok paramiliter Muslim setelah kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, Kartosuwiryo mengatasnamakan Islam melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah. Pemberontakan ini merupakan asal mula usaha mendirikan
Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII), dan Tentara Islam Indonesia
(TII). Mereka ingin mendirikan Negara Islam, al-dawlah al-IslÄmiyah, di
Indonesia. Meski demikian, pemberontakan ke Sulawesi Selatan dan Aceh pada 1950
-an itu gagal mendapat dukungan dari mayoritas Muslim Indonesia. Pada akhirnya,
Tentara Nasional Indonesia mampu menghancurkan gerakan-gerakan pemberontakan
radikal tersebut.
Proses radikalisasi di kalangan
masyarakat Muslim tidak sederhana, sumbernya tidak hanya terdapat secara
internal di dalam negara-negara Muslim sendiri, tetapi juga karena adanya
faktor-faktor eksternal yang mendorongnya. Karena itu, penyelesaiannya
memerlukan pembenahan seperti perubahan kebijakan baik secara internal di
wilayah-wilayah kaum Muslimin sendiri, dan sekaligus juga secara eksternal,
tegasnya Amerika Serikat dan Dunia Barat umumnya.
Pro statement
Munculnya gerakan radikalisme
agama bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, kekecewaan terhadap sistem
demokrasi yang dinilai sekuler, dimana agama tidak diberi tempat di dalam
negara. Agama adalah urusan privat yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun,
sedang negara urusan publik. Ajaran demokrasi yang menempatkan suara rakyat
adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) dianggap telah mensubordinasi Tuhan.
Oleh karena itu, gerakan radikalisme agama biasanya mengambil bentuk pada
perjuangan mendirikan negara Islam, negara teokrasi atau teo-demokrasi dalam
istilah al-Maududi. Meskipun kelompok radikal kecewa terhadap sistem demokrasi,
namun mereka memanfaatkan momentum demokrasi itu memper juangkan aspirasi
politiknya. Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan
oleh ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara
religius. Dalam konteks Islam, radikalisme agama jenis ini biasanya mengambil
bentuk pada islamisasi sistem sosial dan masyarakat dengan melakukan kontrol
yang ketat terhadap aktifitas sosial yang diang gap maksiat, melang gar agama.
Radikalisme jenis ini bisa diekspresikan dalam bentuk per usakan terhadap
tempat-tempat maksiat, pelacuran, per juadian dan sebagainya. Ketiga,
ketidakadilan politik. Radikalisme agama juga bisa muncul sebagai ekspresi
perlawanan terhadap sistem politik yang menindas dan tidak adil. Suatu kelompok
yang terus menerus ditindas dan diperlakukan tidak adil, maka akan muncul
solidaritas internal serta militansi untuk tetap sur vive. Radikalisme jenis
ini biasanya mengambil bentuk pada oposisi atas nama agama terhadap pemerintah.
Dari ketiga hal tersebut, radikalisme agama yang muncul di Indonesia mer upakan
variasi dan percampuran dari model-model di atas. Dalam sebuah negara
demokrasi, radikalisme agama, asal tidak melakukan anarkisme sosial, harus
tetap diberi ruang untuk berekspresi. Oleh karena itu, tugas negara bukan
bagaimana membungkam radikalisme tersebut, tapi menyalurkannya melalui
institusionalisasi politik secara baik. Dengan demikian, radikalisme agama akan
tetap terkontrol dalam bingkai demokrasi.[3]
Sejauh ini belum ada batasan yang
baku untuk mendefinisikan Terorisme. Menurut M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum
Pidana Internasional, tidak mudah mengadakan suatu pengertian yang identik yang
dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna
Terorisme. Menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan
yang subjektif,[4] hal mana didasarkan atas siapa yang memberi
batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Terorisme merupakan suatu istilah
yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan
untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang. Dari
segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme
yang artinya dalam keadaan teror, berasal dari bahasa latin ”terrere” yang
berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada
awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau
kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap
publik.
Strategi penegakan hukum terhadap
terorisme merujuk pada perkembangan peningkatan kegiatannya di beberapa negara
baik di Asia, Afrika, dan Eropa serta di Amerika Serikat, memerlukan perubahan
mendasar baik dari sisi hukum maupun dari sisi politik dan keamanan. Perubahan
mendasar strategi penegakan hukum sangat penting jika merujuk pada laporan
panel tingkat tinggi PBB khususnya mengenai tiga pilar penting konsep
"Collective Security Responsibility" (CSR) dari semua negara anggota
PBB dalam memerangi terorisme. Perang terhadap Terorisme tidak dapat hanya
mengandalkan pendekatan "hukum pidana konvensional", yang didasarkan
pada prinsip, "mens rea" dan "actus reus"; suatu perbuatan
jahat harus terbukti dari selain niatnya juga tindakan dan akibatnya. Prinsip
dasar hukum pidana konvensional ini mewujudkan suatu penegakan hukum yang
bersifat reaktif artinya penegakan hukum
ditujukan setelah terjadinya perbuatan yang menimbulkan akibat bagi korban dan
masyarakat. Sedangkan dalam praktek penegakan hukum terhadap terorisme baru
dimulai setelah akibat dari perbuatan yang dilarang menimbulkan akibat. tas
dasar praktek penegakan hukum pidana yang bersifat "reaktif" tersebut
maka negara mengalami kesulitan untuk melindungi penduduk sipil/warga negaranya
untuk mencegah terjadinya perbuatan terorisme. Dalam hal ini maka menghadapi
terorisme yang efisien dan efektif adalah menggunakan strategi pencegahan yang
berorientasi pada pendekatan ''forward-looking". Pendekatan ini
memungkinkan dilaksanakan strategi penegakan hukum yang yang bersifat proaktif.[5]
Penegakan hukum proaktif terhadap terorisme menuntut konsekuensi hukum yaitu
perubahan prinsip hukum pidana konvensional yaitu perlu dipertim bangkan konsep
di dasarkan pada fakta yang terjadi berasal dari keadaan-keadaan tertentu saja
tanpa harus (menunggu) terjadinya akibat dari perbuatan dimaksud. Strategi
penegakan hukum proaktif tersebut memungkinkan langkah hukum intervensi
terhadap perencanaan atau persiapan tindakan, terorisme sebelum menimbulkan
akibat korban masyarakat yang tidak berdosa.
Sedangkan pengertian terorisme
secara filosofis yang dapat berlaku sepanjang zaman adalah sebagai berikut:
Terorisme merupakan tindak kejahatan yang tidak tunduk kepada aturan apa pun,
karena nilai kebenarannya terletak di dalam dirinya sendiri. Aktif atau
pasifnya kegiatan terorisme yang timbul tenggelam, tergantung kepada kondusif
atau tidaknya lingkungan masyarakat yang menjadi ‘habitat’ hidupnya.
Fundamentalisme atau aliran keras ‘Wahabisme’ merupakan lingkungan yang paling
kondusif bagi terorisme. Aliran tersebut sudah mulai menginfiltrasi sebagian
pikiran umat Islam Indonesia.
Penggunaan senjata mematikan oleh
para teroris yang menimbulkan dampak psikologis lebih besar dalam skala
nasional dan internasional. Lebih buruk lagi, di antara pada pelaku bom adalah
pelaku bom bunuh diri (suicide bombers), yang mengingatkan kita pada pelaku bom
bunuh diri di Palestina. Secara umum, pemboman semacam itu sangat sulit diterima
di kalangan masyarakat Indonesia; bahwa ada di antara mereka menjadi kejam dan
tidak manusiawi.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memakai prinsip
depolitisasi. Sebab, sekalipun citra tindak pidana terorisme selalu berkonotasi
politik, tetapi penekanan lebih kepada perbuatan dan akibatnya.[6]
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh
individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif dari pernyataan
perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil
menggunakan istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain
paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh
kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh
”teroris” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat
dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga
sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label
sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas
membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme,
hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal
kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan
anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang.
Dalam kamus spionase, terorisme
diartikan sebagai: “pengguna kekuatan atau kekerasan yang tidak sah untuk
mengintimidasi, memaksa, melawan dan bahkan membunuh orang, masyarakat,
pemerintah, untuk kepentingan politik atau tujuan sosial lainnya.”[7]
Indian National Security Guard, Act 1986, memberikan definisi sebagai berikut :
“Teroris adalah kelompok/golongan/individu yang mempunyai maksud tertentu untuk
menyerang pemerintah atau penegak hukum dengan melakukan teror kepada orang
atau bagian dari masyarakat, dengan melakukan aksi dan kegiatan dengan
menggunakan peralatan, bom, dinamit, bahan peledak, zat kimia, zat yang mudah
terbakar, senjata api, senjata yang mematikan, racun, gas yang berbahaya, zat
jenis lain (biological dan lain-lain) yang dapat menimbulkan risiko terhadap
alam dan lingkungan, yang mungkin sebagai penyebab, atau dapat menyebabkan
kerugian, melukai atau bahkan mematikan banyak orang, individu atau merusak,
menghancurkan barang milik, harta benda atau dapat menimbulkan kekacauan dan
mengganggu kepentingan pemerintah atau kehidupan masyarakat.”
The study of beliefs, ideologies
and narratives is a highly complex and
contestable exercise. Whilst terrorist acts are never justified, the beliefs,
ideologies and narratives of violent radicalisation, i.e. those beliefs,
ideologies and narratives that maylead to terrorist acts are less clearly
defined. Radical beliefs, ideologies and narratives are not in themselves
illegitimate and may evolve, shift and be adopted in many complex ways. Some
narratives may be shared by those who reject terrorist acts and some
individuals may hold what might be considered by some as radical beliefs,
ideologies and narratives but do subscribe to the use of violent action.[8]
Semula berkembang pendapat bahwa
terorisme dan tindakan teror cukup diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) di mana masih ada ketentuan yang mengatur tentang kejahatan terhadap
ketertiban umum, kejahatan terhadap nyawa, dan kejahatan pengrusakan. Sebagai
contoh, sampai saat ini negeri Belanda tidak memiliki satu Undang-Undang
tentang terorisme tetapi cukup menangani masalah terorisme dengan KUHP-nya.
Memang terhadap “domestic terrorism” atau tindakan teror yang bersifat
domestik, masih cukup ditangani dengan menerapkan ketentuan pidana di dalam
KUHP yang berlaku. Namun untuk mewujudkan suatu Undang-Undang nasional yang
bertujuan mencegah dan memberantas terorisme secara menyeluruh, baik yang
bersifat domestik maupun yang bersifat internasional, dan dengan
mempertimbangkan praktik hukum internasional, maka perlu disepakati lebih
dahulu paradigma yang akan digunakan, sehingga arah pencegahan dan
pemberantasan tersebut dipahami oleh seluruh komponen bangsa Indonesia.[9]
Berdasarkan hal tersebut,
pemerintah Indonesia telah menetapkan 3 (tiga) paradigma yang dipandang cocok
dalam konteks kultur politik yang berkembang, yaitu: yang pertama, adalah
perlindungan kedaulatan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; yang kedua,
adalah perlindungan hak asasi warga negara Republik Indonesia, baik yang
tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri; dan yang ketiga, adalah
perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme yang
sudah merupakan hak universal dan oleh karenanya tidak boleh diabaikan.
Perlakuan dan penerapan terhadap ketiga paradigma tersebut ke dalam kebijakan
hukum harus tepat, seimbang dan kontekstual, yaitu dengan berlandaskan pada
konsepsi “Keseimbangan Berjarak” atau “Equal Distance Concept.” Di dalam konsep
ini, karakteristik kegiatan terorisme dan pelakunya ditempatkan sebagai sasaran
utama, dan ketiga paradigma yang mengelilingi sasaran utama tersebut merupakan
tritunggal yang melakukan ungsi kontrol, dan sekaligus mengendalikan ruang
gerak sasaran utama tersebut. Karakteristik tritunggal dari paradigma yang
dikembangkan dalam menghadapi terorisme harus bersifat dinamis, tepat waktu dan
tepat situasi. Di samping itu, ketiga fungsi tersebut harus dapat dilaksanakan
secara sekaligus sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu: fungsi
preventif, represif, dan rehabilitatif. Kebijakan dan langkah dalam melakukan
pencegahan serta pemberantasan terorisme dengan menggunakan paradigma
tritunggal dimaksud, diharapkan akan dapat memelihara kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia yang tertib, aman, damai, adil, dan sejahtera.[10]
Common ideologies that have
underpinned terrorist organisations or movements have included to varying
degrees Marxism, self-determination, and faith based ideologies. The core
narratives and ideologies identified with these movements are often mediated
through other more specific narratives of relevance to the context of the group in question, and have
all stimulated a range of beliefs, ideologies and narratives that have been
adopted by a range of violent radical organisations and movements. Such
underpinning ideologies are also instrumental in that they are adapted,
modified andrefined, without losing their essential core, to maintain
explanatory efficacy and to fit evolving circumstances. The question of
instrumentality is an important one as it highlights how ideologies and
narratives may evolve and be adapted to fit changing circumstances and needs
and are not static abstract concepts divorced from the contexts to which they
are applied or the individuals, groups or populations that apply them.[11] Such
narratives of selflessness are also prominent
in many frameworks of terrorist ganisations with almost all predicated
on benefitfor others, be it a class, ethnic or national group or even the will
of God. These support and enable the representation of the group as devoid of
self interest and working in a noble cause.[12]
Pro 2
Walter Laqueur, yang menghabiskan
masa hidupnya untuk menyelidiki fenomena terorisme, menyatakan kesulitan untuk
memberikan definisi secara tepat. Ia berpendapat bahwa, Terorisme tidak dapat
dikatakan sebagai perang karena berbeda jauh dari peperangan. Di samping itu,
juga berada di luar bidang perang gerilya, perang revolusioner, pemberontakan
atau perang konvensional. Perang konvensional bertujuan untuk penghancuran
secara total, manusia dan material, perang gerilya merupakan perang
revolusioner untuk menimbulkan kerusakan fisik. Sedangkan terorisme cenderung
menginginkan hasil kerusakan secara psikologis. Terorisme sering dianggap
sebagai aksi gerilya atau salah satu cara yang tidak menganut prinsip perang
gerilya itu sendiri. Dalam aksinya, baik pembunuhan, penculikan, kerusuhan,
kampanye dan aksi lainnya selalu mengabaikan segala bentuk peraturan dan
prosedur perang. Korban dalam sebuah aksi teroris kebanyakan masyarakat, yang
pada saat insiden berada dekat atau bersama-sama dengan korban yang dijadikan
target dan sasaran.[13]
Terorisme adalah
paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan
ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.[14]
Awalnya terorisme dikategorikan sebagai kejahatan terhadap negara tapi lambat
laun berkembang menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Terorisme memiliki
berbagai karakteristik, salah satu karakteristik terorisme adalah semangat
radikalisme agama. Kelompok-kelompok radikalis agamapun ditengarai menggunakan
metode teror untuk mencapai kepentingannya. Kekerasan politik dalam bentuk
terror seringkali dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Kelompok jihad Islam di
Mesir, jihad Islam di Yaman National Isamic Front di Sudan, Al-Qaeda yang
berbasis di Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di Malaysia atau
kelompok-kelompok radikal Yahudi seperti Haredi, Bush Emunim, Kach Kaheni di
Israel adalah sekedar contoh elemen-elemen dengan spirit radikalisme agama yang
cenderung mengedepankan kekerasan dan teror.[15]
Kelompok-kelompok teroris di
berbagai tempat di dunia dengan cermat memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan
oleh perkembangan pesat kemajuan teknologi dan komunikasi untuk mencapai
tujuannya. Sehingga disamping tetap menggunakan metode-metode klasik, aksi-aksi
terorisme saat ini memiliki potensi menciptakan kerusakan dan korban jiwa yang
jauh lebih besar dibandingkan aksi-aksi sejenis di masa lalu. Sebuah
kemungkinan yang menunjang pendapat ini adalah kemungkinan penggunaan weapons
of mass destruction (WMD) seperti senjata kimia dan biologi oleh kelompok
teroris. Walaupun demikian, teknologi lama dan sederhana tetap dimaksimalkan
pemanfaatannya oleh kelompok-kelompok yang melakukannya, sebagaimana terlihat
contohnya dalam aksi peledakan bom di Bali atau Filipina Selatan. Singkatnya,
ruang dan peluang yang dimiliki oleh kelompok teroris untuk menjalankan aksinya
semakin meluas. Hal ini menjadikan terorisme sebagai sebuah ancaman serius
karena relatif sulit menentukan kapan dan dimana kelompok teroris akan
melakukan aksinya.
Terorisme kian jelas menjadi momok
bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi,
hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini
semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan
bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan
kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.[16]
Akibat makna negatif yang dikandung
perkataan "teroris" dan "terorisme," para teroris umumnya
menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang
salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata
terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari
tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat
perang." Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan
agama.
Potensi berpikir, bersikap dan
bertindak radikal, berideologi radikal (radikalisme) dan tumbuh reaktif menjadi
radikal (radikalisasi) adalah modal awal seseorang menjadi pelaku teror
(teroris) atau orang yang berpaham teror (terorisme). Tidak ada teror tanpa
radikalisme. Sebaliknya penganut radikal-isme belum tentu menyukai jalan
kekerasan (teror). Sekalipun demikian,
terdapat kesamaan bahasa yang digunakan oleh radikalisme maupun teroris-me,
yaitu bahasa militan atau bahasa perjuangan (language of militance).[17]
Tindak terorisme berlaku
indiskriminatif terhadap warga biasa yang tidak terkait langsung dengan tujuan
politik yang hendak dicapai aksi teror yang dilakukan dan juga pada instalasi
negara yang dipandang sebagai target yang sah dalam pemahaman konvensional atas
konsepsi perang. Kelompok-kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam sebuah
situasi isolasi dimana fakta-fakta menunjukkan bahwa saat ini terorisme sulit
dipisahkan dari berkembangnya organisasi kejahatan transnasional terorganisasi
dalam berbagai ragam dan bentuknya. Mulai dari tindak kejahatan pencucian uang,
perdagangan ilegal obat bius dan juga perdagangan senjata secara ilegal.
Contra
Kejahatan yang terjadi di dalam
suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi
bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut
Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik
yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara
yang berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang
bersifat lintas batas territorial. Kejahatan terorisme menggunakan salah satu
bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan
kedamaian dunia.[18]
Demikian pula perlu dirumuskan
tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah
dalam melakukan tugasnya, oleh orang orang yang menderita akibat kesalahan itu
dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam
melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu
pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap
telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga
terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan
wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap
perbuatan teror.[19]
Values of solidarity, duty and
loyalty are also common in terrorist cells and are likely to perpetuate
participation in violence independent ofbroader ideological and narrative
frameworks. Likewise a narrative of love has been identified by some scholars
in a number of movements that reinforces and maintains a deep seated sense of
responsibility both between immediate colleagues, toward the cause, and the
broader community in whose name the actions is undertaken, and from the broader
community toward those fighting in their name.
Teroris sangat sulit didefinisikan,
bervariasi tergantung waktu dan kondisi. Marighella menyatakan definisinya
sebagai hal yang mendekati perlawanan gerilya, karena terorisme dianggap
sebagai tindakan yang berada ditengah-tengah antara perang gerilya aksi
frustasi golongan tertentu. Tujuan utama teroris adalah menghancurkan sistem
ekonomi, politik, dan sosial masyarakat suatu negara, untuk diganti dengan
struktur baru secara total. Dewasa ini terorisme menjadi profesi kaum fanatik
untuk mencapai keinginannya dengan melakukan aksi pembunuhan, penculikan
ataupun aksi teror lainnya. Dalam dunia modern, aksi teror banyak ditujukan
pada kelompok middle-upper class, pejabat pemerintah atau orang-orang kaya.[20]
Such narratives of selflessness are
also prominent in many frameworks of
terrorist organisations with almost all predicated on benefitfor others, be it
a class, ethnic or national group or even the will of God. These support and
enable the representation of the group as devoid of self interest and working
in a noble cause.
The term terrorism describes the
use, or threat of use, of violence
against civilian targets for political or ideological goals. Understood in this
way, terrorism is a tactic that has existed for millennia. Despite this
apparent clarity in broad definition, given the value laden use of the term, in
practice terrorism remains a highly contested term, with over 100 diplomatic
and scholarly definitions, and many grey areas.[21]
Tanggung jawab negara diantaranya
adalah sebagai berikut: pertama, Kewajiban negara untuk melindungi hidup
manusia, bukan hanya menghukum pelaku teror sebagaimana tercantum dalam ICCPR;
kedua, Kewajiban melindungi penduduk sipil; ketiga, Kewajiban untuk
mengkriminalisasi tindakan terorisme tanpa melanggar hakpenduduk sipil;
keempat, Kewajiban untuk melakukan "intervensi" terhadap persiapan
dan perencanaan tindakan terorisme.
Untuk mencegah kesewenang-wenangan
dan ketidakpastian hukum dalam tindakan radikalisme dan terorisme hingga tidak
salah sasaran, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti
Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat
dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya
hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan.
Refutation (sanggahan)
Terorisme adalah serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok
masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara
peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban
jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh
para ahli kontraterorisme merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam
angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan
bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan
teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi,
para pelakunya ("teroris") layak mendapat pembalasan kejam.
Dari sisi historis, istilah
‘terorisme’ sebagai suatu definisi mengidap sifat inkonsisten dalam dirinya.
Artinya bahwa beberapa individu yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku
terorisme, pada waktu yang berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi
pahlawan yang dielu-elukan masyarakat. Terorisme termasuk ke dalam kategori
‘Perang Inkonvensional’ yang tidak tunduk kepada hukum internasional.
Akibatnya, masyarakat Pers dapat menjadi sasaran terorisme, baik disengaja
maupun tidak, untuk menyampaikan berbagai pesan dalam rangka menimbulkan rasa
panik dan ketakutan umum yang mencekam. Keadaan yang tidak menentu memudahkan
teroris untuk menggiring opini umum ke arah yang diinginkan mereka. Terorisme
lingkungan, terorisme nubika, terorisme narko, terorisme cyber, dapat mewarnai
aksi-aksi terorisme di masa depan.[22]
Banyak pendapat mencoba
mendefinisikan Terorisme, di antaranya pengertian yang tercantum dalam Pasal 14
ayat (1) The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act, 1984, sebagai
berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes
any use of violence for the purpose putting the publik or any section of the
publik in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain
merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak
ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme
digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak
menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati
kehendak pelaku teror.[23]
Dalam rangka mencegah dan memerangi
Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang
digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional
maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan
kriminal disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap
perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme. Sedemikian besar kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, pemerintah berkewajiban untuk
secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme dengan memidana pelaku dan
aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. ini menjadi prioritas utama dalam
penegakan hukum, untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang
mengatur tentang tindak pidana terorisme.
Berdasarkan paradigma hukum baru
dalam memerangi terorisme dengan strategi penegakan hukum proactive (proactive
law enforcement) yang menggunakan pendekatan "forward-looking", maka
diperlukan sarana hukum pidana materiel dan hukum pidana formil untuk memperkuat
dan mendukung strategi baru tersebut.
Kerjasama internasional telah
merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan di dalam pencegahan dan
pemberantasan kejahatan transnasional khususnya terorisme. Karakter
"transnasional" dari terorisme menyebabkan kerjasama internasional
merupakan tuntutan mutlak dan tidak dapat diabaikan karena peristiwa terorisme
selalu terkait jaringan organisasi internasional yang melakukan aktivitasnya di
beberapa negara. Aktivitas di beberapa negara dari terorisme menimbulkan persentuhan
yurisdiksi kriminal dari dua negara atau lebih dari dua negara. Dalam konteks
persentuhan, yurisdiksi kriminal di beberapa negara maka sistem hukum yang
berlaku di masing-masing negara merupakan salah satu faktor penghambat
efisiensi dan efektivitas kerjasama internasional dalam pencegahan dan
pemberantasan terorisme. Bentuk kerjasama internasional yang diakui berdasarkan
hukum internasional adalah ekstradisi, bantuan timbal balik dalam masalah
pidana, transfer terpidana, transfer hukum acara pidana, kerjasama penegakan
hukum dan joint -investigation. Bentuk kerjasama internasional yang lazim
digunakan adalah ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Keberhasilan kerjasama
internasional sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh
masing-masing negara, sistem hukum Civil Law atau sistem hukum Common Law.
Sistem hukum Common Law khusus dalam ekstradisi lebih menitikberatkan pada
prosedur judicial (judicial procedure) sedangkan sistem hukum Civil Law
menitikberatkan pada prosedur administrative (administrative procedure).
Perbedaan pandangan tersebut mengakibatkan tidak adanya harmonisasi kerjasama
internasional baik dalam ekstradisi maupun dalam bantuan timbal balik dalam
masalah pidana antara negara-negara.
Deradikalisasi berasal dari kata
radikal yang berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip):
perubahan. Sementara deradikalisasi adalah suatu upaya pencegahan yang
dilakukan agar para Narapidana dan mantan Narapidana serta pihak Kamus Besar
Bahasa Indonesia online. lain yang berpotensi terlibat tindak pidana untuk
tidak melakukan atau tidak melakukan kembali kekerasan atau aksi terorisme.
Pengalaman menunjukan bahwa dengan
ditangkap, ditahan dan dihukum melalui sidang Pengadilan tidak menyurutkan atau
menghentikan para pelaku terorisme untuk melakukan kembali aksi kegiatan
kekerasan atau Terorisme. Dan sebaliknya dengan kegiatan Penindakan /
Penegakkan Hukum dan disertai kegiatan Deradikalisasi terhadap para Narapidana
dan mantan Narapidana serta pihak lain yang berpotensi untuk terlibat,
menunjukan hasil yang positif / Signifikan guna mencegah terjadinya kembali
aksi kekerasan / terorisme karena mereka sudah sadar untuk kembali pada
kehidupan yang sebenarnya.
Kegiatan Deradikalisasi mencakup 3
hal adalah sebagai berikut: pertama, Rehabilitasi (Pemulihan Akhlak /
Perilaku). Artinya pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau
semula. Dalam hal ini rehabilitasi akhlak pelaku kriminal. Program Rehabilitasi
dapat dilaksanakan di: Rutan (Tahanan Polisi), Tahanan Kejaksaan dan
Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan
Masyarakat. Kedua, Reintegrasi (Hidup Bersama & Rasa Kebersamaan) Artinya
penyatuan kembali; pengutuhan kembali, yaitu membawa kembali ke dalam
persatuan: membawa seseorang atau sesuatu kembali ke dalam kelompok atau
kesatuan yg lebih besar setelah sekian lama keluar / terasing. Kembali menjadi
bentuk menyeluruh: memugar kembali sesuatu menjadi sesuatu yang bersifat
menyeluruh atau utuh. Ketiga, Re-edukasi (Belajar Lagi & Belajar Kembali)
Artinya pendidikan Ulang, dan mengkaji ilmu pengetahuan yang pernah di peroleh.
Manfaat / Keuntungan yang didapat
dari Program Deradikalisasi adalah sebagai berikut: Counter Terorisme, Cegah
Radikalisme, Perbandingan Faham, Mengelak dari Provokasi Kebencian, Permusuhan Atas
nama Agama, Cegah Masyarakat dari Indoktrinasi, Partisipasi Masyarakat Tolak
Terorisme.
Terdapat tiga peran yang dilakukan
oleh kekuatan militer untuk menghadapi terorisme: pertama, Anti-terorisme yang
bersifat defensif yaitu langkah-langkah untuk melindungi masyarakat, wilayah,
infrastruktur umum, serta instruktur informasi dan komunikasi dari serangan
terorisme. Langkah anti -terorisme yang bersifat defensif ini memerlukan
kemampuan intelligence; pengembangan peringatan dini; kemampuan penjagaan wilayah;
kedua, Upaya pencegahan serangan terorisme untuk mengurangi, mencegah dan
menghentikan/melumpuhkan serangan terorisme. Ketiga, Upaya komprehensif untuk
membantu pemerintah untuk mengatasi konsekuensi atau dampak serangan teroris
terhadap masyarakat dan menstabilkan keadaan setelah serangan. Beberapa
kemampuan yang harus disiapkan mencakup antara lain untuk mengerahkan pasukan
secara cepat untuk membantu korban terorisme.
Conclusion
Kebanyakan dari definisi terorisme
yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi
dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana
bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti
motif: perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif
berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme
bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar
strategi, instrumen atau alat untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain tidak ada
terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif -motif kegilaan.
Aksi terorisme merupakan salah satu
bentuk kejahatan kegiatan internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di
berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju
maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah
memakan korban tanpa pandang bulu. Aksi terorisme dapat dilakukan secara
sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara
dengan membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat
massal, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional.
[1]
Philips J. Vermonte, yang mengutip dari Walter Lequer dalam bukunya Terorism
(1977) dalam tulisan Menyoal Globalisasi dan Terorisme dalam buku Terorisme,
Definisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta : Penerbit Imparsial, 2003, hal. 30.
[2]
Henry S.A. Becket, The Dictionary of Espionage, New York : Stein and Day
Publisher, 1986, hal. 182.
[3]
Rumadi, Demokrasi dan Radikalisme Agama,
Yayasan Abad Demokrasi, 2011, Hal. 12-14.
[4]
Indriyanto Seno Adji, “Terorisme” Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dalam Perspektif
Hukum Pidana, dalam O.C. Kaligis (Penyusun), Terorisme : Tragedi Umat Manusia,
Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2003, hal. 35.
[5]
Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron dan
Ali Imron alias Alik,
Jakarta : Penerbit Jambatan, 2007, hal. 14-15.
[6]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Percobaan dan Penyertaan, Raja
Gravisindo Persada, 2002, hal. 41.
[7]
Henry S.A. Becket, The Dictionary of Espionage, New York : Stein and Day
Publisher, 1986, hal. 182.
[8]
Adam House, Studies into violent radicalisation; Lot 2 The beliefs ideologies
and narratives, London: the Change Institute, P.9
[9]
Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme Dan Perspektif Indonesia,
Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM
RI, 2002, hal. 2.
[10]
Ibid., Hal. 3.
[11]
Ibid., P.23
[12]
Ibid., P.29.
[13]
Adhie S, Terorisme, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005, hal. 10.
[14]
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam
“terrorism, definisi, aksi
dan regulasi”, Jakarta: Imparsial, 2003, hal. 59.
[15]
Luqman Hakim, Terorisme Indonesia, Forum Studi Islam, Surakarta: Surakarta
(FSIS), 2004, hal. 19.
[16]
Mulyana W. Kusumah, “Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum,” Jurnal
Kriminologi Indonesia
FISIP UI, vol 2 no III, Desember : 2002, hal. 22.
[17]
Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, Jakarta: Kompas, 2003, hal. 119.
[18]
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: PT. Rafika
Aditama, 2000, hal. 58.
[19]
Loebby Loqman, Op. cit., hal. 11.
[20]
Ibid.,
[21]
Krueger, Alan. B & Maleckova, Jitka; Education, Poverty and Terrorism; Is there a causal
connection?in
Journal of Economic Perspectives, Volume 17, Number 4,
pp 119 - 144, 2003
[22]
Martha Crenshaw, “Pertanyaan Yang Harus Dijawab, Riset Yang Harus Dikerjakan,
Pengetahuan Yang Harus Diterapkan,” dalam Walter Reich (Editor), Origin of
Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental, penerjemah
: Sugeng Haryanto, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2003, hal. 325.
[23]
Loebby Loqman, Analisis Hukum dan PerUndang-Undangan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 1990, hal. 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar