Senin, 02 Januari 2012

Skripsi Rabian Syahbana #BAB II


 BAB II
Pengajaran Pendidikan Islam oleh Orangtua yang Berprofesi Penambang Timah Terhadap Pengajaran Keagamaan Anak Prasekolah
A.        Pengajaran Pendidikan Islam
Dalam melakukan sesuatu membutuhkan perencanaan yang jelas, tepat, dan matang sehingga dalam proses menjalankannya segala persiapan yang dibutuhkan akan dapat dipenuhi dan segala kesalahan dapat diperkecil pengaruhnya. Begitu pula jika ingin mempersiapkan pendidikan terhadap orang lain.
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai proses hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaannya.[1]
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[2]
Ki Hajar Dewantara mengutarakan tentang alat pendidikan yang dapat digunakan dalam mendorong keberhasilan pendidikan, diantaranya:[3]
Motivasi (dorongan), memberikan dorongan kepada anak baik dari luar maupun dari dalam agama anak memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan baik verbal maupun non verbal.
Reinforcement (penguatan), memberikan pengulangan kepada anak baik dari luar maupun dari dalam agar anak mengetahui dan memahami tentang sesuatu yang diberikan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Reward (penghargaan), ketika anak sekolah sudah mampu menyelesaikan tugas lebih dahulu dengan baik, maka pendidik memberikan penghargaan kepada anak dengan memberikan acungan jempol atau memberikan tanda bintang dan lingkaran penuh.
Punishment (sangsi sosial), ketika anak membuang sampah sembarangan sebagai sangsinya anak disuruh mengambil sampah dan membuangnya ke tempat sampah.

Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadis serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.[4] Sedangkan menurut Asnelly Ilyas yang dimaksud dengan pendidikan Islam ialah mempersiapkan anak dari segi jasmani, akal, dan ruhani sehingga ia menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, baik untuk dirinya maupun bagi umatnya.[5]
Mencari ilmu adalah kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu (fardu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardlu kifayah (fardlu atas sebagian kaum muslimin) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslimin berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi, misalnya ilmu kedokteran, industri, elektronik, mekanika, dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslimin. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok tiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, serta alat transportasi untuk memenuhi kebutuhannya yang jauh. Demikian juga Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah kesehatan dan pendidikan.[6]
Sumber pendidikan Islam ada dua: pertama, sumber Ilahi yang meliputi Al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber insaniah yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global.[7]
Pendidikan dalam Islam dipaparkan pada wahyu yang pertama kali turun dalam surat Al 'Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
Artinya: “(1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, (4). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, (5). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[8]
Pendidikan dalam Islam adalah hal pertama kali dianjurkan oleh agamanya. Dengan makna yang terkandung di dalamnya adalah agar dianjurkan umat Islam untuk membaca. Membaca adalah langkah awal untuk mengetahui tentang ilmu yang ada di dunia ini. Jika seseorang tidak tahu bagaimana cara membaca maka orang tersebut termasuk orang yang merugi dan besar kemungkinan orang tersebut akan ditipu oleh oknum-oknum yang memanfaatkannya dan tidak bertanggung jawab dengan perbuatannya.
Menurut Muhammad Faiz Al-Math pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini, maka orientasi pendidikan Islam diarahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerang jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiaannya (amal saleh).[9] Sistem pendidikan dalam Islam paling ideal dibandingkan dengan sistem keluarga manapun di dunia. Setiap individu dalam keluarga mempunyai hak utuh seperti hak hidup, hak untuk dihormati, dicintai, dan diperlakukan secara baik. Setiap individu mempunyai kewajiban masing-masing sehingga tercipta hubungan keluarga yang erat dan harmonis.[10]
Tindakan orangtua dalam mendidik haruslah mendapatkan perhatian yang lebih bagus dari tindakan yang dilakukan oleh orang lain, dikarenakan anak terutama pada masa prasekolah sangat membutuhkan arahan langsung dari orangtua yang memegang peranan penting dalam hal mendidik. Pendidikan yang langsung didapat dari orangtua memiliki perasaan atau kekuatan yang berbeda dengan yang diajarkan atau didapatkan oleh orang lain, dikarenakan hubungan orangtua dan anak merupakan salah satu hubungan yang kuat dan takkan pernah lepas di dunia ini.
Jalannya pengajaran pendidikan Islam bersifat konsisten dan konstan (tetap) bila dilandasi proses dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian suatu sistem pendidikan Islam harus berkembang dari proses yang membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak Islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari proses dasarnya sehingga hasilnya juga sama dengan pengajaran pendidikan yang dilakukan.
Dalam membina sebuah rumah tangga kehadiran anak adalah pelengkap sekaligus pelipur lara dalam kehidupan keluarga. Dengan kehadiran anak dapat membuktikan atau melihat sejauh mana kesanggupan dan kemampuan orangtua dalam kesiapan berkeluarga. Sehingga dalam keluarga yang mempunyai anak ketika menghadapi kehidupan yang akan mereka tempuh di kemudian hari turut juga membuat kesiapan anak mereka. Hal tersebutlah yang mengharuskan untuk sebuah keluarga agar lebih siap siaga ketika diamanatkan untuk memiliki dan membimbing anak.
Dengan bertambahnya satu anggota keluarga lagi yaitu anak, keluarga tersebut bisa bangga dan itu tidak hanya dinikmati oleh orangtua saja tetapi seluruh anggota keluarganya yang lain, karena seringkali dengan hadirnya seorang anak secara tidak langsung bisa mengangkat derajat keluarganya karena budi pekerti atau prestasi yang diraihnya, dan memang begitulah yang seharusnya diperbuat oleh seorang anak di kemudian hari. Tetapi, jika dididik dengan cara yang salah maka anak juga bisa menghancurkan martabat keluarganya karena perilaku buruknya.
Anak merupakan pondasi yang paling mendasar bagi terbentuknya sebuah bangunan masyarakat. Apabila kita meletakkannya dalam posisi yang benar, bangunannya secara utuh akan bisa lurus, kendati bangunan tersebut besar dan mencakar langit.[11]
Menurut Nawawi anak adalah karunia Allah yang sangat besar nilai dan fungsinya bagi kehidupan keluarga. Setiap orangtua harus benar-benar bersyukur bila telah dikaruniai anak. Selain itu, orangtua harus menyadari bahwa anak adalah amanat dari Allah yang harus dipelihara dan dididik dengan sebaik-baiknya. Agar kehadiran anak bisa benar-benar menjadi rahmat serta menjadi kebanggan bagi keluarganya, sejak kecil anak-anak harus dididik dengan baik yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Sejak dini anak-anak harus diperkenalkan pada ajaran agama.[12]
Dalam kehidupan anak prasekolah, orangtua mengambil peran sebagai pengarah yang mendidik anak sehingga pengajaran pendidikan yang dilakukan dalam perkembangan dan pengetahuannya sesuai dengan tahap umur anak. Jika itu berhasil maka bisa dijamin anak akan mudah menyesuaikan tindakan yang akan dilakukan seandainya dia menghadapi suatu masalah dan tentu saja jika anak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, itu merupakan kebanggaan untuk orangtua, karena telah sukses mendidik anak dalam menyelesaikan masalah.
Secara pribadi setiap anak akan mengembangkan proses reaksi masing-masing terhadap rangsangan/kejadian yang dialaminya, dan setiap anak akan berkembang sesuai dengan tempo dan kecepatan masing-masing. Dengan demikian kecepatan perkembangan seorang anak tidak selalu sejalan dengan kawan-kawannya maupun dengan usia kronologisnya. Perkembangan setiap manusia melalui beberapa tahapan, dimana setiap tahap kehidupan mempunyai ciri masing-masing. Anak usia dini pun berkembang melalui tahapan dan setiap peningkatan usia kronologisnya akan menampilkan ciri-ciri perkembangan yang khas.[13]
Untuk lebih mudahnya akan kita bahas terlebih dahulu tentang ciri-ciri perkembangan anak menurut beberapa ahli. Menurut Agus F. Tangyong mengatakan bahwa ciri-ciri perkembangan anak usia 0-7 tahun ini menampilkan tentang minat mereka terhadap dunia luar (lingkungannya). Sesuai dengan tingkat perkembangannya, maka lingkungan yang paling akrab dengan dirinya adalah lingkungan rumah tangga. Dengan demikian pertumbuhan dalam perkembangan anak sejak dilahirkan hingga usia 7 tahun, tampaknya sangat bergantung kepada pembentukan di rumah tangga. Di sinilah tampaknya peran kedua orangtua sangat dominan dalam membentuk diri anak.[14]
Ki Hajar Dewantara mengatakan usia 1-7 tahun dipandang sebagai masa kanak-kanak, pendidikan yang cocok pada fase ini yaitu dengan cara pemberian contoh dan pembiasaan.[15] Muhammad Syafei meyakini bahwa dasar-dasar kependidikan di Indonesia dan implikasinya pada anak prasekolah haruslah dapat mengembangkan: percaya pada diri sendiri, berakhlak (bersusila) setinggi mungkin, mempunyai daya cipta, berperasaan tajam, halus, dan estetis, jasmani yang sehat dan kuat, diusahakan supaya anak mempunyai darah ksatria, yang berarti berani karena benar, mempunyai jiwa konsentrasi, pemeliharaan sesuatu usaha, menepati janji, hemat, memenuhi kewajiban dalam belajar.[16]
Menurut Conny R. Semiawan pendidikan bagi anak pada usia-usia ini adalah belajar sambil bermain. Bagi anak bermain adalah kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat bereaksi dan berekplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental, intelektual, dan spritual. Bermain adalah medium, di mana anak menyatakan jati dirinya, bukan saja dalam fantasinya, tetapi juga benar nyata secara aktif. Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajah dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai pada yang ia ketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuatnya hingga mampu melakukannya. Secara tegas dapat dikatakan bahwa, belajar sambil bermain bagi anak usia dini merupakan persyaratan penting bila orangtua menginginkan anaknya sehat mental.[17]
Fase antara tahun kedua dan tahun ketiga, ini adalah fase sulit. Fase ini seorang anak akan mencoba kemampuannya, belajar berusaha, dan berbuat salah; memecahkan dan menghancurkan sesuatu dengan sengaja atau tidak sengaja, tidak mau mendengar perintah orangtua. Bahkan tabiatnya pada usia ini adalah melanggar perintah dan kata-kata yang disukainya adalah kata “tidak”. Jika dia marah, maka akan marah besar dan berharap untuk bisa merusak apa yang merintangi jalannya. Kita tidak boleh mengekangnya, tetapi yang harus kita lakukan adalah membiarkannya bebas dan meringankan jiwanya. Berilah suatu benda untuk dipecahkan dan dirusak olehnya, tinggalkan dia bermain dengan air agar dia dapat menemukan sesuatu yang baru. Kita harus dapat memenuhi keinginannya untuk merusak sesuatu yang tidak membahayakan dirinya, atau merusak sesuatu yang berharga.[18]
Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun menurut Biechler dan Snowman,[19] yang setiap jenjang umur yang diperoleh anak-anak akan menempuh beberapa persoalan yang sesuai dengan umur mereka. Orangtua diharapkan bisa menyesuaikan kebutuhan anak-anak sesuai dengan fase umur mereka.
Peran orangtua pada fase ini dibutuhkan pengujian karena anak sedang melakukan sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya. Kebijakan orangtua dalam membimbing anak haruslah tepat sasaran sehingga anak tidak dibebani oleh kebingungan yang akan dihadapi saat dia melakukan sesuatu yang sama sekali belum diketahui olehnya. Orangtua juga harus pintar-pintar mengalihkan perhatian anak sehingga anak tidak terbuai oleh kegiatan lainnya.
Pada tahun ketiga. Pada fase ini seorang anak lebih pasrah daripada fase sebelumnya, lebih paham dan lebih “kooperatif” (bisa diajak bekerja sama). Kita harus mengajarinya bagaimana bekerja sama dengan orang lain, mengajarkan sebagian perilaku baik yang sederhana seperti mencintai orang lain, atau menghormati barang milik mereka.[20]
Pengajaran pendidikan setiap orangtua pada fase ini diharapkan agar mereka dapat memainkan perannya sebagai pendidik dan bisa memanfaatkan kesempatan yang dilihatnya pada fase anak tahun ketiga ini. Orangtua harus bisa membangun kekuatan dan kerjasama yang akan membuat hubungan keluarganya semakin erat. Sehingga hubungan orangtua dan anak terjalin ikatan yang kuat, dan hal tersebut merupakan nilai tambah terhadap pendidikan keluarga tersebut.
Pada tahun keempat dari usianya. Anak pada usia ini lebih giat dan lebih enerjik. Dia berusaha untuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya dan mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Dia banyak bertanya tentang segala hal, sebagaimana juga dia senang mengejek dan menghina. Kadang dia melontarkan ejekan kepada teman-temannya bahkan kepada saudara dekat sekalipun. Hal ini mendorong kita untuk dapat berlaku baik kepadanya dalam menghadapi sikapnya, mendidiknya dalam batasan-batasan, memahaminya, dan bersabar.[21]
Dalam fase tahun ini orangtua harus pandai-pandai menempatkan dirinya dalam kelakuan ataupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak. Sebab peran orangtua dalam fase ini hubungannya bisa dikatakan dapat mengalihkan kepribadian anak atau lebih gampangnya perubahan sikap baik ataupun sikap buruk anak dikemudian hari dalam hal tingkah laku bisa dilihat dari didikan orangtuanya pada fase tahun ini.
Dalam aspek lain, anak yang berusia sekitar 4 tahun memiliki egosentris, dan di usia 5 tahun barulah tumbuh rasa sosialnya. Selanjutnya sekitar usia 7 tahun mulai tumbuh dorongan untuk belajar.[22] Ketika mencapai usia lima tahun, dia tumbuh lebih matang dan lebih paham. Dia dapat memahami apa yang kita inginkan darinya, dapat memperlihatkan kesalahan dan mengakuinya, sebagaimana dia lebih banyak berusaha untuk mandiri pada dirinya sendiri. Dia sudah bisa mandi dan memakai baju sendiri. Pada saat ini, kita harus memberikan pujian kepadanya atas tingkah laku baiknya dan atas kerja sama yang dilakukannya dengan kita, atau dengan teman-temannya.[23]
Anak pada usia lima tahun dapat mengikuti perintah-perintah orangtuanya dan mengikuti apa yang dipelajarinya dari prinsip-prinsip moral yang sederhana. Dia tidak akan melakukan suatu perbuatan yang membuat kedua orangtuanya marah, walaupun keduanya tidak ada di dekatnya. Tetapi bukan berarti bahwa perasaan itu telah terbentuk dalam dirinya. Dia melakukan hal itu dikarenakan rasa takut dari hukuman, atau takut orangtua memarahinya.[24]
Banyak ahli jiwa dan para dokter yang berpendapat bahwa usia lima tahun pertama pada seorang anak yang baru saja kita bicarakan adalah fase terpenting dalam kehidupan anak, terutama dari sisi kejiwaanya. Ini akan menentukan sifat-sifat kepribadian anak kelak. Untuk itu, pendidikan modern lebih memfokuskan perhatiannya pada periode ini dalam kepribadian anak.[25]
Pada tahun keenam, anak mulai mengamati untuk belajar, tetapi sifat kooperatifnya lebih rendah dari sebelumnya. Dia hidup dalam masanya dan menghindari bentuk khayalan serta lebih cenderung untuk mencontoh. Pada usia enam tahun, anak mulai mengenal apa itu benar dan apa itu salah dengan cara yang lebih mendalam dari sebelumnya, tetapi tentu tidak seperti apa yang kita pahami.[26]
Setiap fase diatas baik dari pada tahapan umur tiga tahun maupun sampai enam tahun, semuanya mempunyai perannya masing-masing dalam perkembangan anak sehingga orangtua mempunyai proses-proses tersendiri yang telah disiapkan dalam menghadapi kepribadian yang mungkin terjadi pada diri anak mereka.
Hak-hak anak merupakan suatu kenyataan bahwa anak pun memiliki hak-hak yang perlu dihormati oleh siapa saja. Sementara itu masih banyak orang yang masih memperlakukan anak demi kepentingan pribadi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 14 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.[27]
Tahun Internasional Anak yang disponsori oleh badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 1979 membantu mengarahkan perhatian hak-hak anak. Deklarasi PBB terhadap hak anak meliputi:[28]
1.      Hak untuk memperoleh kasih sayang, cinta dan pengertian.
2.      Hak untuk mendapatkan gizi dan perawatan kesehatan.
3.      Hak untuk mendapat kesempatan bermain dan bereaksi.
4.      Hak untuk mempunyai nama dan kebangsaan.
5.      Hak untuk mendapatkan perawatan khusus jika cacat.
6.      Hak untuk belajar agar menjadi warga negara yang berharga.
7.      Hak untuk hidup dalam kedamaian dan persaudaraan.
8.      Semua anak mempunyai hak yang sama, tidak dibedakan dan didiskriminasikan.
Perhatian terhadap anak prasekolah sudah sewajarnya dilakukan mengingat pada fase tersebut anak-anak memerlukan pengajaran langsung dari orang yang dekat dan dipercaya olehnya. Sehingga arah masa depan anak akan dapat dipastikan walaupun nantinya akan mendapat pengaruh dari faktor-faktor lain yang akan ditemui olehnya di kemudian hari.
Anak-anak di hari ini, akan menjadi bapak di hari esok dan selanjutnya akan meneruskan estafet generasi umat manusia. Mereka (anak-anak)lah yang akan menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan dan mendapatkan perhatian yang serius sesuai ajaran dari Nabi kita Muhammad SAW dengan penuh kasih sayang.[29]
Saat ini banyak alternatif lain yang bisa dilakukan oleh orangtua seandainya mereka terlalu sibuk atau keilmuan mereka yang kurang dalam mendidik anak, mereka bisa menggunakan beberapa jasa yang ditawarkan. Banyaknya jasa pendidikan anak yang ditawarkan oleh orang lain, seharusnya tetap membuat para orangtua untuk mendidik anak secara langsung, sebab pendidikan dari orangtua adalah nilai yang sangat membantu anak dalam mempercayai kehidupannya.
Sebagian orangtua ada yang menitipkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah asing yang dapat merubah cara berpikir anak, kepercayaannya dan mencabut mereka dari norma-norma Islam yang bermuara pada bobroknya akhlak maupun ibadah seorang anak. Bahkan lebih parah dari itu, anak-anak kita ikut serta dalam beragam aktifitas seperti ikut dalam perayaan hari-hari besar, atau pada acara-acara umum maupun khusus agama selain Islam seperti perayaan hari natal, tahun baru, valentine dan lain-lain.[30]
Setiap orangtua membutuhkan pekerjan untuk menyantuni kehidupan keluarga mereka. Abdul Aziz Al-Khayyath menjelaskan pengertian kerja dalam arti luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidupnya. Inilah pengertian kerja yang biasa dipakai dalam dunia ketenagakerjaan dewasa ini. Sedangkan pekerja -dalam lingkup pengertian ini- adalah orang yang bekerja dengan menerima upah, baik pekerja harian atau bulanan, maupun dalam perusahaan atau lembaga.[31]
Allah berfirman tentang pekerjaan yang dilakukan oleh umat manusia yang tercantum pada surat Faathir ayat 8, yang berbunyi:
`yJsùr& tûÉiïã ¼çms9 âäþqß ¾Ï&Î#uHxå çn#uätsù $YZ|¡ym ( ¨bÎ*sù ©!$# @ÅÒム`tB âä!$t±o Ïökuur `tB âä!$t±o ( Ÿxsù ó=ydõs? y7Ý¡øÿtR öNÍköŽn=tã BNºuŽy£ym 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÑÈ  
Artinya: “Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?, Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena Kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.[32]
Bekerja yang dilakukan oleh sebuah keluarga merupakan pekerjaan yang memang harus dilakukan jika ingin membina kehidupan yang lebih baik. Sebab anak yang hadir dalam kehidupan keluarga tersebut merupakan sebuah amanat yang harus dijaga, dilindungi, dan diayomi. Jika orangtua tidak bekerja maka keluarga tersebut tidak dapat bertahan hidup dalam taraf keharusan yaitu kebutuhan sehari-hari untuk bertahan hidup. Apabila anak kurang mendapatkan pendidikan yang cukup dikarenakan kurangnya kemauan orangtua dalam bekerja maka itu bisa mempengaruhi faktor pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika itu terjadi maka anak akan mendapatkan penyakit kekurangan gizi seperti busung lapar atau mungkin lebih parah yaitu kematian.
Dalam tradisi Islam, kerja dinilai sebagai sesuatu yang paling tinggi, dan di lingkungan birokrasi pemerintahan dan politik, kerja masuk dalam kategori profesi yang sulit. Berkaitan dengan ini, istilah pekerja biasanya dikategorikan dalam level pemerintah dalam arti luas dan para birokrat negara di berbagai wilayah, besar ataupun kecil. Dalam kaitan ini, pekerja yang dimaksudkan adalah para pengusaha.[33]
Walaupun kehidupan di kota dan desa berbeda, itu tidak menyulutkan perjuangan orangtua dalam melakukan pekerjaannya. Sebab ditakutkan apabila orangtua menurunkan frekuensi pekerjaannya maka kebutuhan kecukupan materi yang diperlukan anak di zaman globalisasi ini akan tertunda atau bahkan lebih parah, bisa saja pendidikan anak akan tertinggal dan gagal. Orangtua harus lebih giat dalam bekerja dan itu harus dibuktikan dengan tindakan.
Landasan Hukum Pertambangan Rakyat yang eksistensi penambangaan rakyat diakui secara yuridis. Pertambangan rakyat tersebut diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Kemudian, ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam:
a.    Pasal 5 sampai 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan;
b.    Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar